KDRT bak jamur yang mewabah, tak pernah kelar walau sudah masuk tahun 2023. Pendidikan sudah meluas, akses informasi pun kian mudah, namun korban KDRT masih berhamburan. Miris? Tentu!
Masih lekat di ingatan, tahun 2022 lalu kasus Rizky Billar dengan istrinya, Lesti Kejora bikin geger netizen. Couple goals netizen ini rupanya terkena kasus KDRT, khususnya Rizky Billar yang diketahui melakukan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) terhadap Lesti. Rizky diketahui mencekik, mendorong, dan membanting sang istri hingga membuat Lesti dirawat di RS.
Awal tahun 2023, dunia hiburan juga diisi dengan kasus KDRT yang dialami oleh artis senior Venna Melinda. Ia melaporkan kasus KDRT yang dilakukan oleh suaminya, Ferry Irawan. Menurut pengacara, Hotman Paris, KDRT tersebut terjadi karena urusan seksual. Venna yang diketahui kelelahan menolak untuk berhubungan intim dengan sang suami. Karena ditolak, Ferry kemudian geram hingga melukai sang istri hingga hidungnya bercucuran darah.
Kedua kasus tadi hanya sekelumit KDRT yang terjadi di Indonesia. Masih ada Lesti dan Venna lainnya di Indonesia; sama-sama menjadi korban KDRT. Menurut data KemenPPPA, hingga Oktober 2022 sudah ada 18.261 kasus KDRT di Indonesia. Sebanyak 79,5% korbannya adalah perempuan.
Terbaru, menurut data real time SIMFONI-PPA sepanjang tahun 2023, jumlah kasus KDRT di rumah tangga sudah ada 671 dengan jumlah korban 646.
Masih dari sumber yang sama, jenis kekerasan yang dialami korban tertinggi ketiga ada kekerasan seksual (366), psikis (276), dan fisik (268).
Tak hanya terjadi di Indonesia, kekerasan KDRT bahkan juga terjadi di negara adidaya yakni Amerika Serikat. Menurut laporan CDC, lebih dari 10 juta orang dewasa per tahunnya mengalami kekerasan seksual oleh pasangannya.
Pelaku KDRT Bisa Dikenakan Pasal
Siapa, sih, yang mau kena KDRT? Nggak ada yang mau dan amit-amit hal ini terjadi. Oleh sebab itu, di Indonesia sendiri untungnya ada pasal yang mengatur mengenai KDRT, Sob.
Adalah Pasal 44 UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT yang memuat aturan terkait hukuman atau sanksi bagi pelaku tindak pidana KDRT tentang perbuatan kekerasan secara fisik. Berikut poin pasalnya, Sob:
1. Pasal 44 ayat 1 UU PKDRT
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama lima (5) tahun atau denda paling banyak Rp15 juta (lima belas juta rupiah).
2. Pasal 44 ayat (2) UU PKDRT
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30 juta (tiga puluh juta rupiah).
3. Pasal 44 ayat (3) UU PKDRT
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp45 juta (empat puluh lima juta rupiah).
4. Pasal 44 ayat (4) UU PKDRT
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5 juta (lima juta rupiah).
Selain pasal tadi, ada pula Pasal 5 UU No. 23 Tahun 2004 (UU PKDRT) yang mengatur tentang bentuk larangan termasuk KDRT. Bentuk larangan termasuk tindak KDRT adalah:
- Kekerasan fisik: perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
- Kekerasan psikis: perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
- Kekerasan seksual: pemaksaan hubungan seksual dalam lingkup rumah tangga.
- Penelantaran rumah tangga: perbuatan yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi.
Akar Kekerasan dalam Rumah Tangga
Jika ditelaah, pelaku KDRT rupanya memiliki penyebab mengapa melakukan tindakan tersebut. Dilansir Psychcentral.com, rerata mereka ingin mendapatkan kekuasaan dan kendali atas pasangan. Ada pula beberapa faktor mendasar yang dapat berkontribusi pada kecenderungan seseorang melakukan KDRT. Diantaranya:
- Mengalami trauma masa kecil;
- Memegang sistem kepercayaan tertentu tentang hirarki dan dominasi;
- Menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga sebagai seorang anak;
- Kurangnya edukasi;
- Gangguan kepribadian;
- Penggunaan zat;
- Ideologi gender;
- Tingkat percaya diri rendah;
- Insecure atau merasa tidak aman.
Lantas, Apa Alasan Korban Bertahan di Hubungan Abusive?
Walau awareness sudah ada di mana-mana, akses komunikasi pun makin mudah. Namun kenapa korban KDRT masih kukuh bertahan di hubungan yang abusive? Seperti yang dialami oleh Lesti Kejora, ia pada akhirnya memilih untuk kembali ke dalam ‘pelukan’ suami, Rizky Billar, yang senyatanya merupakan pelaku KDRT.
Dilansir Psychologytoday.com, setidaknya terdapat enam penyebab mengapa pada akhirnya korban memilih untuk bertahan di hubungan abusive.
- Pikiran yang Nggak Jernih
Seorang korban KDRT tentu mengalami trauma atas apa yang dialaminya. Hal ini menyebabkan kebingungan, keraguan, dan mengakibatkan korban menyalahkan dirinya sendiri.
Tak jarang pelaku yang melecehkan akan menuduh korban membuat korban merasa bersalah. Misal, “dia menggunakan pakaian seksi di depan banyak pria, pantasnya memang mendapatkan tamparan dari suaminya.”
- Merasa Harga Dirinya Rusak
Sayangnya, korban KDRT sering dibuat bingung pula dengan kejadian yang menimpanya. Setelah menjadi korban, dirinya akan merasa terpukul dan tidak berharga.
“Dia membuat saya percaya kalau saya nggak berharga dan sendirian,” atau “saya pantas mendapatkan perlakuan ini” adalah serangkaian kata yang sering dilayangkan oleh korban ketika harga dirinya mulai tergerus.
- Ketakutan
Ketakutan korban untuk meninggalkan pelaku karena adanya ancaman adalah salah satu penyebabnya. Di satu sisi, korban ingin segera keluar dari ‘jebakan’ korban, namun ia juga terancam.
Bentuk ancamannya pun beragam, ada yang hendak disakiti, tidak diperbolehkan bertemu anak-anak, dipermalukan, hingga tak dinafkahi.
- Percaya bahwa Pelaku Bisa Menjadi Lebih Baik
Fenomena ini banyak terjadi di masyarakat. Para korban seakan menjadi ‘penolong’ dan game changer bagi kehidupan si pelaku. Ia percaya bahwa pelaku bisa ‘sembuh’ dan berubah menjadi lebih baik.
Selain itu, korban juga dibayang-bayangi menjadi ‘pahlawan’ bagi pelaku. Hal ini dikarenakan kondisi pelaku yang mungkin sebatang kara; tak memiliki keuangan baik, tak memiliki keluarga.
- Ingin Melindungi Anak-anaknya
Umumnya para korban selalu mengutamakan anak-anak hingga mengorbankan keselamatan diri sendiri. “Aku takut anak-anak ku menjadi korban. Biarkan ia memukuli saya saja,” adalah kalimat yang sering keluar dari pemikiran korban.
Memang hal ini mulia, namun jika hubungan toksik tetap dipertahankan pun akan mengakibatkan hal buruk bagi anak-anak, baik di masa kini hingga masa depannya.
- Stigma Masyarakat dan Keluarga
Stigma masyarakat dan keluarga atas seseorang yang bercerai sampai saat ini menjadi momok bagi mereka yang mengalami KDRT.
Ambil contoh, perempuan yang merupakan korban KDRT dianggap tak bisa mengurus anak-anak serta pasangannya hingga terjadi prahara dalam rumah tangga. Lalu jika bercerai, mereka mendapat stigma sebagai janda yang seringkali dianggap ‘nakal’. Hal inilah yang menjadi ketakutan bagi seseorang untuk memutus hubungan rumah tangga dengan pelaku KDRT.
Sekali lagi, jangan pernah salahkan korban KDRT jika pada akhirnya ia memilih bertahan. Alangkah baiknya, kamu membantu ia untuk meluruskan serta menjernihkan pikiran agar dirinya sadar bahwa hubungan yang nggak sehat akan berujung pada sesuatu yang tak baik. Selain itu, kamu juga bisa baca artikel berikut untuk membantu teman atau kerabat melaporkan ke pihak berwajib jika menjadi korban KDRT.