Wayang adalah salah satu kekayaan budaya Indonesia. Biasanya alat pertunjukan wayang dibuat dari kayu tiga dimensi dan lembaran kain kulit. Namun bagaimana kalau wayang terbuat dari sampah plastik? Penasaran bagaimana bentuknya dan cara membuatnya? Mari mengenal komunitas “Wayang Sampah (Wangsa)” yang berbasis di Yogyakarta.
Komunitas Wangsa bermula dari keprihatinan pendirinya, Muhammad Sulthoni dan Gilang Damar Setiadi, terhadap masalah sampah. Sebelumnya, Toni, Gilang, beserta kedua temannya melihat kondisi Gunung Lawu yang penuh dengan puluhan karung botol dan sampah.
Mereka pun resah memikirkan sampah-sampah tersebut dan mencari cara agar tumpukan sampah bisa menjadi sesuatu yang berguna. Karena kebetulan mereka semua memiliki latar belakang seni dan pemerhati konservasi lingkungan, maka pada 2014 silam, komunitas Wangsa dibentuk. Mereka lalu menjadikan “Matahari Jawa” di Solo sebagai tempat berkumpul dan berlatih bagi para anggota Wangsa.
Komunitas Wangsa menggabungkan konservasi lingkungan dengan seni budaya Jawa, secara khusus wayang. Komunitas ini mengemas pementasan wayang yang menarik sembari mengedukasi penonton tentang sampah.
View this post on Instagram
“Yang jelas kami mengelola sampah plastik dengan media wayang. Dari situ nasihat-nasihat tertentu dapat dimasukkan atau disampaikan dalam cerita pewayangan,” ucap Gendes, panggilan Gilang Damar Setiadi, melansir dari Radar Jogja.
Wayang Golek yang ditampilkan di pementasan juga dibuat dari sampah plastik. Hingga kini komunitas Wangsa mempunyai 50 buah wayang golek yang terbuat dari barang daur ulang tersebut. Nggak cuma wayang, alat pendukung pementasan berupa alat musik seperti kendang dan rebab, juga dibuat memanfaatkan barang-barang yang tidak terpakai.
Kegiatan komunitas Wangsa tak hanya mementaskan wayang, lho. Mereka juga kerap mengadakan lokakarya seperti pembuatan gamelan berbahan kaca bekas bersama masyarakat, pameran karya, dan kolaborasi dengan seniman dalam negeri maupun mancanegara.
Selama berkiprah sejak 2014, mereka sudah manggung sampai ke beberapa negara luar, seperti Kroasia, Jepang, Taiwan, Filipina, dan Thailand. Meskipun begitu, pusat kegiatan komunitas ini tetap berada di Yogyakarta dan Solo.
Di basecamp-nya, komunitas wayang sampah menyasar berbagai segmen usia, mulai dari anak-anak hingga ibu-ibu. Bahkan berkat adanya komunitas itu, ibu-ibu di Desa Gondangmanis, Kabupaten Karanganyar, semakin mahir memainkan gamelan dari kaca.
View this post on Instagram
“Harapan saya masyarakat bisa bersikap bijaksana terhadap sampah, terutama dalam mengelola sampah. Agar lingkungan ini tetap terjaga. Kalau di komunitas kami ada semboyan ‘berbudaya jaga lingkungan’,” kata Toni.
Kelompok yang sangat inspiratif banget ya, Komunitas Wayang Sampah ini. Bukti bahwa sampah yang menumpuk sebenarnya masih bisa dicari peluang untuk dimanfaatkan menjadi barang yang berguna bahkan sebagai sarana hiburan.
Buat Sobat yang mau kenal lebih jauh komunitas Wayang Sampah, bisa banget lihat-lihat langsung ke laman media sosial Instagram mereka, @wayangsampah.