Pemerintah gencar mengimbau perusahaan tambang agar menghentikan pengiriman bahan mineral atau logam mentah ke luar negeri. Selaras dengan itu, sejumlah harapan disandarkan agar langkah pengembangan dan pengolahan produksi mineral bisa lebih dimanfaatkan bagi kebutuhan domestik. Sayangnya, kesiapan pemerintah terapkan hilirisasi dipertanyakan.
Resvani, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), mengungkapkan, pihaknya mencatat sejumlah kelemahan dari kesiapan pemerintah menjalankan hilirisasi sektor pertambangan. Meskipun secara perangkat aturan cukup kuat, pelaksanaan kebijakan penyetopan ekspor material mentah terancam timbulnya jutaan ton mineral terbengkalai atau tak terserap dengan baik. Ihwalnya, kata Resvani, kesiapan fasilitas dan industri pengolahan mineral belum mumpuni.
“Tidak bisa tiba-tiba disetop, karena (industri) bisa mati. Harus tetap menimbang keberlanjutan kegiatan pertambangan. Tidak apa-apa diekspor, misalnya, tetapi dikenai bea keluar,” ujar Resvani, di Jakarta, Senin (27/2/2023), dilansir Kompas. “Tidak bisa tiba-tiba disetop, karena (industri) bisa mati. Harus tetap menimbang keberlanjutan kegiatan pertambangan.
Pendapat itu disebabkan masih belum utuhnya kebijakan hilirisasi, dari tahapan hulu, hilir atau pengolahan, hingga pemanfaatannya sebagai produk daya guna menunjang keseharian masyarakat. Tak hanya itu, kepastian pelaksanaan setiap tahapan hilirisasi belum tampak didasari komitmen yang jelas.
Dia mencontohkan, hilirisasi pengolahan material bauksit menjadi alumina, ataupun kemudian dari alumina menjadi aluminium, perlu dipersiapkan lebih cepat. Tahapan hilirisasi ini, menurutnya, amat penting untuk mengukur lini masa dari pelarangan ekspor untuk setiap tingkatan produk.
Bahkan kendati cukup tegas menentukan langkah terkait penghentian ekspor material tambang mengacu Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, masih ada celah aturan yang kurang rinci.
“Aturan turunan dari UU tersebut juga belum ada, padahal amat dibutuhkan sebagai panduan pelaksanaan dan pengawasan praktiknya di lapangan,” kata Resvani menyayangkan.
Sekilas balik, Sobat perlu mengetahui pengumuman resmi dari Presiden Jokowi yang telah melarang ekspor bijih bauksit mulai Juni 2023. Artinya, menjelang resmi diberlakukan, masih ada beberapa kesiapan pemerintah untuk terapkan hilirisasi yang patut dipertanyakan.
Pertanyaan serius berkaitan dengan tingkat serapan mineral produksi tambang yang terbilang masih rendah. Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Minerba, Irwandy Arif, menguraikan, produksi bauksit pada 2022 sebanyak 27,7 juta ton berasal dari 50 perusahaan pemegang izin usaha pertambangan. Namun, kata dia, serapan pabrik pemurnian atau smelter untuk menjadi alumina masih 7,8 juta ton saja.
Percepatan Pengembangan Smelter Mendesak
Irwandy mengatakan, sejumlah perusahaan tambang dalam daftar yang dipegang timnya memiliki progres berbeda-beda dalam tahapan pembangunan smelter. Mereka diberi tenggat untuk berkomitmen dapat menyelesaikan pendirian smelter pada Juni 2023. Namun, hasil temuan tim Kementerian ESDM menunjukkan hal mencemaskan dalam upaya percepatan pengembangan smelter.
“Sebanyak delapan unit sedang berproses (pembangunan). Ada yang melaporkan kemajuannya sudah 50 persen, 30 persen, 18 persen. Menteri memerintahkan untuk meninjau ke lapangan, (ternyata) masih tanah…,” ucap Irwandy.
Pada pokoknya, ada empat hambatan pembangunan fasilitas pemurnian (smelter), yaitu problem keuangan, energi, lahan, dan perizinan. Selain penguatan pelaksanaan aturan hukum, pemerintah kudu segera memastikan keempat soal tersebut bisa teratasi. Jika tidak, persoalan lain dapat saja terjadi sebagai efek domino. Beberapa di antaranya menyangkut kestabilan finansial perusahaan tambang terancam, jaminan kesejahteraan tenaga kerja di sektor pertambangan terusik, dan rentan penyelewengan sumber daya mineral oleh segelintir pihak untuk kepentingan pribadi.
Pekerjaan rumah pemerintah tampaknya lumayan banyak, ya, Sob. Apa sebaiknya kebijakan yang perlu segera dijalankan untuk memperbaikinya?