Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyatakan bahwa kenaikan suhu global imbas industri sudah dirasakan hingga Indonesia. Hal ini ia ungkapkan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi V DPR RI, pada Rabu (9/11/2023).
Kenaikan suhu global tersebut setidaknya sudah terpantau sejak 1950 dengan lonjakan pada 1980. BMKG pun juga mencatat, dalam 8 tahun terakhir mulai 2016, rekor terpanas sepanjang sejarah.
“Dari grafik ini terlihat, miringnya grafik mulai dari tahun 1920 sampai 1950 ini miringnya landau, namun setelah 1980, miringnya semakin curam,” jelas Dwikorita.
Selain itu, pada 2023 Bumi telah alami kenaikan suhu kurang lebih 1,2 derajat Celcius dibandingkan tahun di masa sebelum revolusi atau tahun 1850 hingga 1900. Itu menjadi baseline sebelum masa revolusi industri.
Pada 2022, anomali suhu secara global terpetakan dengan zona kuning yang semakin tua semakin menjadi oranye. Artinya, semakin tua menuju merah tersebut suhu Bumi menjadi lebih panas.
“Seperti contoh di wilayah Afrika ke arah utara, ke arah Eropa, itu ada warna merah tua. Artinya di tahun 2022 sudah mengalami kenaikan suhu mencapai 2 derajat Celcius, lebih panas dibandingkan suhu rata-rata tahun 1991-2020,” tambahnya.
Di Indonesia sendiri, kenaikan suhu Bumi bisa dilihat di Pulau Kalimantan. Di mana BMKG mencatat kenaikan suhu telah mencapai 0,25 derajat Celcius.
“Termasuk Kalimantan [kenaikan suhunya] mencapai 0,25 derajat Celcius dan yang lebih tua warnanya itu mencapai 0,5 derajat Celcius dibanding suhu rata-rata dibanding tahun 1991-2020,” lanjutnya.
Apa penyebab panas yang semakin meningkat?
Dwikora mengungkapkan panas yang semakin meningkat tersebut imbas dari emisi gas rumah kaca, termasuk karbon dioksida (CO2). Riset tersebut termonitor juga di Global Atmospheric World Bukit Kotatabang, Bukittinggi, Sumatra Barat.
Sebagai contoh pada 2004, lonjakan CO2 meningkat yakni dari 370 ppm (bagian per sejuta) kosentrasi CO2 menjadi 410 ppm pada 2023. Bahkan pada akhir Oktober 2023, menunjukkan angka 415,1 ppm.
“Padahal Bukit Kototabang itu di tengah hutan, tidak di Jakarta, tidak ada polusi. Sehingga bisa dibayangkan, di tengah hutan pun konsentrasi CO2 sudah melompat,” tutupnya.
BMKG sendiri saat ini hanya bisa memberikan pelatihan kepada para petani, nelayan dan masyarakat untuk bisa beradaptasi terhadap perubahan iklim, mencegah terlepasnya gas rumah kaca sebanyak mungkin. Diharapkan dengan cara tersebut, ke depannya peningkatan polusi gas rumah kaca bisa semakin kecil. Serta BMKG terus mendorong transformasi dari energi fosil menjadi energi non-fosil.