Nikel menjadi salah satu jenis logam yang dibutuhkan untuk membuat baterai kendaraan listrik. Di industri kendaraan listrik Indonesia saat ini, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebutkan bahwa hingga tahun 2035, kebutuhan nikel untuk membuat baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) meningkat hingga mencapai 59.506 ton.
Prediksi itu tercantum dalam target kuantitatif pemerintah dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 6 Tahun 2022 dengan baterai NMC 811. Rinciannya, Kemenperin menghitung kebutuhan nikel untuk baterai kendaraan listrik pada 2025 sebanyak 25.133 ton, kemudian pada 2030 sebesar 37.699 ton.
Perhitungan tersebut berdasarkan aturan praktis (rule of thumb) daya baterai yang dibutuhkan kendaraan listrik. Untuk kendaraan listrik roda dua sekitar 1,44 KWh dan roda empat 60 KWh. Adapun masing-masing KwH membutuhkan kandungan logam nikel sekitar 0,7 kg, mangan 0,096 kg, dan kobalt 0,096 kg.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Taufik Bawazier mengatakan, industri nikel telah dikembangkan menjadi berbasis hidrometalurgi. Menurut Taufik, smelter yang beroperasi dengan metode hidrometalurgi memang cocok untuk membuat produk turunan nikel sebagai bahan baku baterai EV.
Saat ini sudah ada empat smelter berbasis hidromatelurgi atau high pressure acid leaching (HPAL), yaitu PT. Huayue Nickel Cobalt, PT. QMB New Energy Material, PT. Halmahera Persada Lygend, dan PT. Kolaka Nickel Indonesia. Agar dapat memenuhi kebutuhan bahan baku baterai kendaraan listrik, kapasitas produksi nikel dalam negeri digenjot hingga 915.000 ton per tahun.
Pasalnya, pemerintah menargetkan produksi kendaraan listrik pada tahun 2030 dapat mencapai 600.000 unit untuk roda empat atau lebih, serta 2,45 juta unit untuk roda dua. Suplai bahan baku untuk pembuatan baterai kendaraan listrik memang diperlukan.
Ke depannya, Taufik mengatakan, Kemenperin akan memperkuat tata kelola smelter nikel dalam negeri, dari sisi sumber daya manusia (SDM), hilirisiasi produk nikel dan mineral yang lain, dan pengaturan standar kawasan dan industri hijau.
“Semua bahan baku ada di Indonesia sekitar 93%, di mana 7% lithium perlu impor. Jadi di sini kita perlu membalikkan situasi, harus bangun dan penguatan kemampuan di dalam negeri karena kita punya bahan baku itu semua,” kata Taufik.
Semakin optimistis ya mendengar kabar ini, Sob! Semoga pertumbuhan industri kendaraan listrik melaju lancar dan cepat, ya.