Ibu Kota Negara Indonesia, Jakarta, baru saja berulang tahun yang ke-495 pada 22 Juni 2022 kemarin. Hampir 5 abad usianya, tentunya kota ini sarat akan sejarah. Bahkan Jakarta tak hanya menjadi menjadi bagian perjalanan dari warga aslinya namun juga warga bangsa lain. Termasuk bangsa Portugis yang berasal dari Portugal. Jejak bangsa Portugis di Ibu Kota Negara Indonesia terdapat di bagian utara Jakarta, tepatnya di Kampung Tugu, Kelurahan Semper, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara.
Di sanalah, masih tersimpan kisah bangsa Portugis yang dahulu pernah bertandang ke Batavia dan membentuk koloni dan bertahan hingga kini.
Tim Sampaijauh.com berkesempatan menelusuri Kampung Tugu dan bertemu dengan Andre Juan Michiels, generasi ke-10 dari keluarga Michiels.
Michiels adalah salah satu dari 23 klan asli keturunan Portugis pendiri Kampung Tugu. Selain Michiels, ada juga Abrahams, Andris, Cornelis, Browne, Quiko dan masih banyak lagi.
Menurut beberapa literatur dan kisah, sisa bangsa Portugis yang ditawan Belanda di Batavia selama 20 tahun sejak tahun 1641, kala itu berjalan jauh sekitar 20 km ke timur dan menemukan wilayah kosong, yang kala itu merupakan daerah tinggi, hutan dan dikelilingi rawa-rawa dan masih ada hewan buas.
Namun sisa bangsa Portugis tersebut bisa menaklukan daerah di timur Batavia tersebut dan di sana-lah sisa 23 kepala keluarga bangsa Portugis memulai lembaran hidup baru dengan bercocok tanam dan berburu.
“Kebebasan mereka itu tidak dengan sia-sia, mereka tukar dengan agama yang tadinya Katolik jadi Protestan, Bahasa sehari-hari Portugis harus menggunakan Bahasa Belanda dan Melayu. Nama-nama Portugis harus diganti menjadi nama Belanda,” ujar Michiels.
Masyarakat Kampung Tugu yang mendiami wilayah utara Jakarta kemudian hidup bercocok tanam, bertani, nelayan hingga berburu. Keturunan bangsa Portugis yang ada di wilayah utara Jakarta ini sering berinteraksi bersama dengan warga sekitarnya bahkan hingga ke wilayah Cabangbungin, Bekasi atau yang biasa disebut Suku Betawi.
“Karena orang-orang di Tugu ini suka berburu sampai ke Cabangbungin, Bekasi. Akhirnya mereka kawin-mengawin dengan penduduk pribumi di sana. Atau yang kita Sebut Betawi. Jadi percampuran budaya itu pasti ada,” cerita Michiels.
Selama ratusan tahun terjadi banyak perkawinan silang. Hingga kini keturunan asli Portugis yang masih mendiami Kampung Tugu disebut Andre berjumlah 1500 jiwa yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Besar Tugu (IKBT).
Meski sejarah Kampung Tugu telah berlangsung lama, namun semangat masyarakat Kampung Tugu masih tetap berkobar dalam melestarikan budaya dan tradisi mereka hingga hari ini. Keroncong Tugu salah satunya, di mana komunitas ini disebut Andre sebagai pionir musik-musik keroncong. Bagi masyarakat sekitar kala itu, keroncong merupakan musik yang paling mudah dipelajari.
“Karena keadaan yang membuat kami harus menghibur diri dengan alat-alat yang dibawa dari Batavia. Itu juga lama kelamaan tidak bertahan dan rusak. Akhirnya mereka membuat gitar kecil yang menyerupai alat yang mereka bawa yang kita beri nama macina, prunga dan jitera. Suara yang dihasilkan oleh macina, prunga dan jitera berbunyi ‘crong-crong-crong’ sehingga akhirnya masyarakat menyebut musik yang kita mainkan itu musik keroncong,” lanjut Michiels.
Keroncong Tugu tak hanya dicintai dalam negeri namun juga luar negeri. Disebutkan oleh Andre, Grup Keroncong Tugu sudah banyak perform di luar negeri dari tahun 90-an di Belanda, bahkan 10 tahun terakhir ini sempat tampil di Portugal, Jepang, Singapura hingga Malaka.
Masyarakat Kampung Tugu juga mempunyai bahasa sendiri dulunya yaitu bahasa Kreol atau bahasa Portugis yang pengucapan dan tulisannya sama ini banyak dinyanyikan dengan iringan musik Keroncong Tugu. Kini, bahasa Kreol sudah tidak banyak digunakan lagi.
Keroncong Tugu terus menemani masyarakat Tugu sebagai sarana hiburan. Terutama dalam tradisi-tradisinya menjelang Hari Raya Natal dan Tahun Baru. Masyarakat Kampung Tugu mempunyai tradisi yang dinamakan Rabo-Rabo dan Mande-mande.
Tradisi Rabo-rabo biasnya dilaksanakan setiap tanggal 1 Januari, di mana warga Kampung Tugu akan berkumpul dan mendatangi rumah ke rumah dan bernyanyi sambil diiringi musik keroncong serta mengucapkan selamat tahun baru.
“Dari acara Rabo-rabo itu, dulu dilaksanakan tidak selesai satu hari dan ditutup di acara Mande-mande. Mande-mande adalah ritual di mana kita saling mengucapkan atau mengoleskan bedak, kita saling memaafkan dan memulai kehidupan baru di tahun yang baru,” kenang Michiels.
Mungkin yang tersisa dari perjuangan dan pengorbanan 23 klan Portugis yang menetap di Batavia hanyalah cerita demi cerita yang dituturkan dari satu generasi ke generasi. Namun tahukah Sobat, ternyata masih ada bentuk fisik dari sejarah tersebut yaitu Gereja Tugu.
Gereja pertama dibangun tahun 1678, oleh Ds Melchior Leijdecker, selain sebagai tempat beribadah juga untuk sekolah. Sejak gereja dibangun inilah, daerah tersebut dinamakan Kampung Tugu.
Gereja tertua di Jakarta ini bahkan telah ditetapkan menjadi cagar budaya oleh Gubernur Ali Sadikin pada tahun 1972.
Semangat pelestarian tak hanya tergambar dari upaya-upaya untuk mempertahankan Gereja Tugu, namun dari dalam masyarakat Tugu sendiri, mereka masih tetap aktif untuk menggaungkan budaya serta adat istiadat dan tradisi yang mereka kembangkan sejak ratusan tahun lalu.
“Kami berusaha untuk meneruskan tradisi, mengembangkan, bahkan bila perlu kita punya budaya keroncong bisa sejajar dengan musik di dunia,” lanjutnya.
Andre pun juga menuturkan lebih lanjut bahwa musik Keroncong Tugu keluaran terbaru sudah berupaya didigitalisasi di platform streaming.
“Kami juga gak mau terpaku dengan memainkan lagu-lagu nenek moyang, lagu-lagu Tugu, tapi kita lebih berkreasi menciptakan lagu-lagu baru. Satu hal yang membuat kami bangga adalah lagu yang kami ciptakan itu mendapatkan penghargaan AMI Awards, luar biasa,” tutupnya.