Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dikabarkan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, dan memasukkan ketentuan baru soal pengelolaan dan pemanfaatan pasir laut, nih, Sob. Alias Presiden Jokowi membolehkan pihak-pihak tertentu mengeruk pasir laut di Indonesia.
Dalam Pasal 6 beleid (kebijakan) tersebut, diketahui Jokowi memberikan ruang kepada sejumlah pihak untuk mengeruk pasir laut dengan dalih mengendalikan hasil sedimentasi di laut. Selain itu, dalam Pasal 8 beleid itu, presiden pun mengatur sarana yang bisa digunakan untuk membersihkan sedimentasi itu, yakni kapal isap (diutamakan berbendera Indonesia).
Tapi tau nggak, Sob, menurut studi yang dilakukan oleh peneliti dari Universitas Sumatra Utara (USU), pengerukan pasir tersebut dapat berdampak buruk terhadap kualitas air dan menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme di dalamnya, termasuk plankton.
Para peneliti dari USU melaporkan dampak buruk tersebut dalam artikel berjudul “The Impact of Marine Sand Mining on Sea Water Quality in Pantai Labu, Deli Serdang Regency, Indonesia” yang dipublikasikan di jurnal IOP Science.
Studi yang dilakukan oleh para peneliti tersebut dilakukan selama tiga bulan mulai dari Mei hingga Juli 2019 di kawasan Pantai Labu. Dalam penelitian itu, para peneliti mengambil sampel air hasil pengerukan pantai dan setelah itu dilakukan penelitian lebih dalam di Laboratorium Shafeera Enviro.
Sampel air yang diambil dari hari yang berbeda, pertama pada 10 Mei 2019 dan sampel air kedua diambil pada 25 Mei 2019 dengan waktu yang sama, yakni mulai pukul 14.00 hingga pukul 16.00. Adapun sampel air tersebut berasal dari 4 pantai yang berbeda, antara lain Pantai Labu Pekan, Rugemuk, Palu Sibaji, dan Denai Kuala.
Hasil Tes Kualitas Air Laut
Berdasarkan parameter Total Suspended Solid (TSS), nilai rata-rata TSS di Pantai Labu berkisar antara 169-186 miligram/liter. Dua kali lipat lebih buruk dari ketetapan yang ditentukan oleh Menteri Lingkungan Hidup. Mengenai rinciannya, sebagai berikut: TSS di Rugemuk 169 mg/l, Palu Sibaji 179 mg/l, Pantai Labu Pekan 179,5 mg/l, dan Denai Kuala 186 mg/l.
Melihat hasil tersebut, tentu saja telah melampaui baku mutu (air) yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut Bagi Biota Laut sebesar 80 mg/l.
“Kandungan TSS yang tinggi di area penambangan pasir mungkin disebabkan oleh aktivitas penambangan ini yang mengaduk dasar air dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengembalikan kondisinya,” tulis peneliti dalam studinya.
Sementara itu, pengerukan pasir di pesisir pantai dapat mengakibatkan turbiditas atau kekeruhan air yang diakibatkan oleh bahan-bahan yang melayang. Tingkat turbiditas tertinggi sendiri tercatat berada di Rugemuk dengan mencapai 2,07 NTU (Nephelometric Turbidity Unit), Palu Sibaji 1,99 NTU, Pantai Labu Pekan 1,27 NTU, dan Denai Kuala 0,49 NTU.
Tidak hanya itu saja, keempat wilayah pantai tersebut memiliki kadar keasaman (pH) di atas standar kualitas atau di atas angka 7. Dengan begitu status kualitas air laut di keempat wilayah tersebut masuk dalam kategori tercemar ringan.
Habitat Plankton
Kita ketahui, plankton merupakan organisme air yang sangat penting di dasar laut. Pasalnya, keberadaannya dapat menjaga dan membentuk dasar rantai makanan di air. Artinya, plankton penting bagi organisme air lainnya seperti ikan.
Jika keberadaan habitat plankton terganggu, sudah tentu mengakibatkan keberadaannya cepat punah. Apalagi di perairan laut Pantai Labu terdapat fitoplankton yang terdiri dari empat kelas, 17 famili, dan 21 spesies.
Dengan menggunakan teknik analisis Shannon-Wiener, para peneliti menemukan indeks keanekaragaman plankton di Pantai Labu tergolong dalam keanekaragaman sedang.
Berkurangnya Habitat Ikan
Kegiatan penambangan pasir di Pantai Labu, ternyata mengakibatkan dampak penurunan produktivitas perikanan laut. Menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan Dinas Kabupaten Deli Serdang, sejak pengerukan pasir laut di wilayahnya jumlah produksi perikanan laut mengalami penurunan. Contoh pada 2017 tercatat, masyarakat mengalami penurunan penangkapan ikan laut dari 7.213,50 ton/tahun pada 2016 menjadi 6.974,03 ton/tahun.
“Hingga 10 tahun kegiatan penambangan pasir laut, masyarakat semakin merasakan besarnya dampak negatifnya dampak yang timbul,” tambah peneliti dalam studinya.
Sekedar informasi saja, pelarangan pengerukan pasir pantai di wilayah Indonesia telah diterbitkan sejak pemerintahan presiden ke-5, Megawati Soekarno Putri. Aturan tersebut berupa Keppres Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut yang berisi beberapa ketentuan, antara lain;
(1) Ekspor pasir laut ditetapkan menjadi komoditi yang diawasi tata niaga ekspornya.
(2) Pasir laut yang ditetapkan sebagai komoditi yang diawasi tata niaga ekspornya dapat diubah menjadi komoditi yang dilarang ekspornya setelah mempertimbangkan usulan dari Tim Pengendali dan Pengawas Pengusahaan Pasir Laut.