Sobat, pasti di antara kamu banyak yang merasakan suhu panas Bumi akhir-akhir ini. Hal ini diakibatkan karena Bumi mengalami kenaikan suhu, sehingga terasa semakin menyengat. Tapi, kejadian ini nggak hanya dirasakan oleh masyarakat di Indonesia saja, sejumlah negara di dunia pun merasakan hal yang serupa.
Isu krisis iklim dan pemanasan global digadang-gadang sebagai penyebab utama suhu di Bumi terasa semakin panas. Bahkan fenomena ini sering dibahas dan diperbincangkan publik dunia pada media sosial. Namun benarkah panas di bumi disebabkan oleh dua faktor tersebut?
Mengutip laman Climate via Trivia, sejak tahun 1880 suhu permukaan Bumi dinyatakan telah meningkat sebesar 2 derajat Fahrenheit atau setara 1 derajat Celcius. Detailnya, rata-rata peningkatan suhu di Bumi sebesar 0,14 derajat Fahrenheit atau 0,08 derajat Celcius per dekade.
Sementara itu, berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA) pada 2022, suhu permukaan Bumi naik 0,89 derajat Celcius. Lonjakan suhu ini cukup meningkat dibandingkan suhu rata-rata tahunan periode 1951-1980. Hal ini sebagaimana dikutip Katadata pada Februari lalu.
Data tersebut diperoleh dari NASA yang diambil berdasarkan pencatatan suhu yang dilakukan sepanjang tahun lewat stasiun cuaca, kapal, dan sensor laut di berbagai belahan dunia.
Selain itu untuk pengukuran suhu juga dibuktikan oleh data dari salah satu teknologi satelit NASA, Atmospheric Infrared Sounder (AIRS) yang mampu untuk memantau pancaran energi inframerah dari permukaan dan atmosfer Bumi.
Sepanjang periode 1981–2014 terlihat di setiap tahunnya bahwa ada kenaikan suhu permukaan bumi berkisar 0,1 derajat Celcius sampai 0,7 derajat Celcius dibandingkan dengan suhu rata-rata tahunan periode 1951-1980. Akan tetapi, sejak 2015 hingga saat ini justru malah meningkat lebih naik. Parahnya selalu lebih dari 0,8 derajat Celcius.
Faktor utama Bumi semakin panas adalah karena disebabkan oleh efek gas-gas rumah kaca yang konsentrasinya semakin lama kian meningkat. Terutama untuk gas karbohidrat atau CO2 dan metana. Keduanya bisa “menaklukkan” panas dari atmosfer. Gas rumah kaca dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil.
Umumnya, gas rumah kaca merupakan hal wajar berada di atmosfer, karena berguna demi menjaga Bumi tetap hangat untuk hidup. Namun, hal ini menjadi tidak baik apabila jumlahnya terlalu banyak, lantaran bisa memberikan rasa hangat yang berlebihan.
Terlebih, sejak tahun 1800-an jumlah karbon dioksida pada atmosfer Bumi ikut meningkat sekitar 280 ppm menjadi 410 ppm pada tahun 2019. Oleh karena itu, salah satu bentuk meminimalisir pembakaran energi fosil bisa dilakukan dengan cara menggantikannya menggunakan energi lebih ramah lingkungan.
“Jadi energi fosil itu perlu untuk dikendalikan, diminimalisasi. Pembakaran energi fosil ini perlu dikurangi atau bahkan digantikan energi yang lebih ramah lingkungan. Misalnya renewable energy, energi surya, energi angin, energi air,” tutur Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Indonesia (BMKG), Dwikorita Karnawati.
Atau bisa juga ketika musim hujan tiba, coba untuk memanen air hujan. Jadi air hujan tidak langsung mengalir ke sungai atau laut, melainkan ditampung melalui tandon-tandon air, di reservoar-reservoar di beberapa danau.
“Jadi memperbanyak upaya untuk menahan air atau meresapkan air ke dalam tanah sebagai air talang sehingga nanti kalau ada kemarau panjang, itu kita sudah punya cadangan,” tutup Dwikorita.