Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta mengungkapkan bahwa saat ini gelombang PHK pekerja industri tekstil dan produk tekstil (TPT) masih terus terjadi sampai saat ini.
Menurut catatan Redma Gita Wirawasta, gelombang PHK pekerja di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mencapai 70.000 orang, baik berupa putus kontrak maupun dirumahkan. Meskipun jumlah tersebut lebih kecil dibandingkan dengan tahun 2022 yang mencapai 80.000 orang.
“Jumlah ini belum termasuk karyawan TPT kalangan IKM (industri kecil menengah),” jelas Redma Gita Wirawasta seperti dikutip Kontan, pada Rabu (15/11/2023).
Adapun penyebab terjadinya jumlah karyawan tersebut tak lepas dari kondisi industri TPT nasional yang sedang lesu lantaran permintaan ekspor masih kecil. Ditambah lagi kenaikan suku bunga acuan The Fed yang menyebabkan ketidakpastian ekonomi global dan berujung pada penurunan permintaan produk tekstil lokal Indonesia.
Begitupun dengan pasar domestik, di mana dalam kondisi seperti saat ini seharusnya topangan produsen TPT bisa didorong lebih lagi. Namun, justru industri TPT lokal dibanjiri oleh produk-produk impor, termasuk produk impor ilegal, sehingga membuat daya beli masyarakat terhadap produk lokal semakin menurun.
Selain itu, APSyFI memprediksi kondisi industri TPT nasional masih akan lesu hingga akhir tahun 2023 mendatang. Padahal, biasanya permintaan produk pakaian meningkat jelang libur Natal dan Tahun Baru.
APSyFI juga memperkirakan, jika kondisi impor ilegal masih merajalela di Indonesia dan permintaan ekspor masih rendah, bisa jadi pada Kuartal I 2024 mendatang industri TPT nasional masih akan seperti saat ini.
Momentum Pemilu 2024 pun belum tentu membantu kinerja industri TPT secara keseluruhan, karena dinilai pesanan atribut kampanye pun tidak begitu besar jumlahnya.
“Ada order atribut kampanye partai dan Capres-Cawapres. Tapi jumlahnya tidak signifikan,” tambahnya.