Sebagai salah satu kebutuhan primer bagi manusia, pakaian kini juga telah menjadi sebuah tren fesyen yang dapat meningkatkan ekonomi sebuah negara. Di Indonesia sendiri, tren fesyen dalam industri garmen menjadi salah satu sumber ekonomi yang menggiurkan.
Menurut catatan Kementerian Perindustrian, pada 2019 industri garmen berkontribusi hingga mencapai 5,4 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Selain itu, industri ini menjadi penyedia lapangan kerja yang penting bagi masyarakat Indonesia, khususnya pekerja perempuan.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan Korporasi Keuangan Internasional (IFC) mencatat, jika pekerja dalam industri garmen, 90 persen menggunakan tenaga perempuan. Sayangnya, pandemi Covid-19 yang terjadi sejak awal 2020 hingga saat ini membuat industri ini mengalami dampak negatif.
Terbukti, Bank Indonesia melalui survey Indeks Penjualan Ritel (IPR) menyebut jika pada periode Februari-Desember 2020 penjual eceran sandang (garmen) mengalami penurunan hingga 59,7 persen.
Sementara, Badan Pusat Statistik menyebut pada kuartal IV 2020 laju pertumbuhan industri tekstil atau pakaian mengalami penurunan hingga 10,49 persen secara tahunan. Peningkatan pertumbuhan industri tekstil mulai terjadi pada kuartal III 2021 dengan perbaikan sebesar 3,34 persen dibanding kuartal sebelumnya.
Menurunnya pendapatan di industri garmen tak luput dari pembatasan mobilitas masyarakat di dalam negeri dan secara global. Diketahui, industri ini sangat bergantung pada bahan baku impor dan pasar ekspor.
Produksi garmen di Indonesia sendiri banyak diekspor ke berbagai negara dengan total sekitar 70 persen dari total produksi. Negara-negara yang biasa menerima ekspor garmen dari Indonesia antara lain, Amerika Serikat, Jerman, Jepang dan Korea Selatan.
Data lainnya dari Indonesia Eximbank mencatat bahwa dari ekspor tekstil dan produk tekstil pada 2020 turun sebesar 17,7 persen atau sekitar 10,5 miliar dolar Amerika Serikat dari tahun sebelumnya.
Penurunan terbesar berasal dari ekspor pakaian jadi, yakni sebesar 15,1 persen year-on-year (YoY). Produk pakaian jadi sendiri memiliki porsi sebesar 66 persen untuk diekspor ke luar negeri dari total ekspor TPT Indonesia.
Akibatnya, 80 persen perusahaan produk tekstil di Indonesia menghentikan operasionalnya, tepatnya pada April 2020. Tentu saja, dengan banyaknya perusahaan tekstil yang tutup berakibat pemutusan hubungan kerja pegawai, memberi cuti, memotong upah pegawai di tengah krisis pandemi Covid-19, hingga tidak memperpanjang kontrak.
Pada 7 Mei 2021, tercatat lebih dari 237.216 pekerja terkena dampak, sementara 22.840 orang kehilangan pekerjaannya.
“Pekerja yang dirumahkan harus menanggung pengurangan upah, sementara beberapa pemberi pekerja telah menggunakan no work, no pay yang sangat merugikan sumber pendapatan utama pekerja,” terang Chief of Technical Advisor Better Work Indonesia Programme ILO, Maria Vasquez seperti dikutip Tirto.
Untuk memulihkan ekonomi di industri tekstil atau garmen, pemerintah bekerjasama dengan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia saat ini sedang melakukan beberapa cara, salah satunya yaitu mengurangi impor serta menerbitkan safeguard garmen.
Pasca PPKM pada September – Oktober 2021, utilitas TPT diketahui telah membaik. Asosiasi Pertekstilan Indonesia mengklaim jika utilitas TPT sudah mencapai di atas 70 persen. Karyawan yang sempat dirumahkan sendiri, sudah kembali bekerja.