Uni Eropa melalui Parlemen Eropa akan menetapkan Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon atau Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM). Menurut para pelaku industri, peraturan ini akan membuat harga besi baja terancam melonjak dan berdampak terhadap kelangsungan industri di Tanah Air. Kok bisa?
Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon (CBAM) adalah tarif karbon untuk produk intensif karbon, seperti semen dan sebagian listrik, yang diimpor oleh Uni Eropa. Ini adalah cara Uni Eropa mencegah limpahan emisi dari negara lain melalui pembatasan emisi pada barang dan menambahkan tarif bagi produk yang menyisakan jejak karbon tinggi yang masuk ke wilayah Uni Eropa.
CBAM akan berlaku efektif pada 1 Oktober 2023 yang mencakup produk di enam sektor intensif karbon yang sangat terpapar perdagangan internasional, yaitu aluminium, semen, besi dan baja, listrik, hidrogen, dan pupuk.
Para pelaku industri besi baja yang tergabung dalam Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) menilai, peraturan CBAM sangat mengancam harga baja negara eksportir yang sebagian besar pembuatannya menggunakan teknologi berbasis batu bara, termasuk Indonesia.
Mengapa demikian? Karena dengan adanya CBAM, harga produk baja yang diimpor Eropa dari produsen baja lainnya di dunia dipastikan akan bertambah. Sementara itu, produsen baja dan eksportir barang jadi berbasis baja harus bersiap menanggung biaya pajak karbon.
Peraturan ini telah mendapatkan protes dari sejumlah negara. Salah satunya Asosiasi Baja Korea Selatan dikabarkan akan menentang penerapan CBAM ini karena melanggar aturan Organisasi Perdangangan Dunia (WTO). Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan telah melayangkan protes keras kepada Komisi Eropa melalui Surat Menteri Perdagangan RI pada 14 Januari 2022 lalu mengenai CBAM.
Tak bisa bergantung sepenuhnya pada protes, IISIA lantas mengingatkan industri besi dan baja nasional agar menerapkan proses produksi dan adopsi teknologi beremisi karbon rendah menuju produksi tanpa emisi karbon. Namun tentunya masih ada sejumlah kendala terutama dari sisi teknologi dan pembiayaan untuk mewujudkan perusahaan beremisi karbon rendah.
“Adopsi teknologi ini akan membutuhkan biaya pengembangan dan investasi yang besar sehingga akan meningkatkan biaya produksi secara signifikan. Maka perlu dukungan pemerintah dalam bentuk dukungan biaya pengembangan dan insentif investasi sebagaimana diberikan oleh Uni Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Tiongkok, Jepang, Korea, India dan berbagai negara lainnya,” tulis IISIA dalam laman resminya.
Sementara itu, data Kementerian Perdagangan RI mencatat, total ekspor Indonesia sepanjang Januari–Desember 2022 mencapai total 276 miliar dolar AS. Capaian ini menjadikan komoditas besi dan baja saat ini menduduki peringkat ke-3 ekspor Indonesia dengan nilai 27,82 miliar dolar AS atau mencapai 10% dari keseluruhan ekspor Indonesia.