Bagi warga Kota Pahlawan yakni Surabaya, pasti tak asing lagi dengan gedung yang menjulang tinggi di antara deretan hunian warga Banyu Urip Wetan. Kondisi bangunan tersebut tidak berubah hingga kini kecuali menua karena termakan waktu. Adalah Gedung Setan Surabaya, bangunan yang masih memiliki kesan kuno, tidak terawat, angker, namun ternyata sarat akan nilai sejarah.
Sejarah yang terkandung di dalam Gedung Setan Surabaya cukup unik. Gedung ini rupanya adalah bekas Kantor Gubernur VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) cabang Jawa Timur yang dibangun oleh Penguasa Sipil Tertinggi VOC yakni J.A. van Middelkoop pada tahun 1809. Namun, setelah ditinggalkan oleh VOC, gedung ini dimiliki oleh Dokter Teng Sioe Hie atau Teng Khoen Gwan atau Gunawan Sasmita yang kemudian dijadikan tempat pengungsian orang-orang Tionghoa pada tahun 1948.
Setelah dibeli oleh Dokter Gunawan Sasmita, tempat itu difungsikan sebagai bisnis transit jenazah yang akan dimakamkan. Sebab, di kawasan tersebut dulunya dikenal sebagai area pemakaman Tionghoa, Kristen, dan Belanda.
Yang menjadikan Gedung Setan Surabaya ini unik adalah saat tahun 1948, etnis Tionghoa yang berada Jawa Timur dan Jawa Tengah yang mengungsi karena keadaan dirasa belum aman rupanya menetap di gedung tersebut. Setelah kondisi dirasa cukup aman, beberapa pengungsi pergi kembali ke daerahnya namun ada yang menetap di Gedung Setan. Pengungsi yang menetap tersebut adalah generasi keempat dari pengungsi Tionghoa pada tahun 1948. Sampai saat ini, Gedung Setan Surabaya dihuni sekitar 40 KK (Kepala Keluarga) dari berbagai ras yakni Tionghoa, Jawa, Madura, Bali, NTT sampai Ambon.
Lalu, dari mana sebutan Gedung Setan tersebut diberikan?
Menurut Ketua Pengurus Gedung Setan, Djijanto Soetikno, hal ini tercetus karena di sekitar gedung tersebut merupakan kawasan kuburan. “Menjelang sore, tidak ada lampu, orang di sekitar tidak berani untuk lewat daerah sekitar sini karena sekitaran sini adalah kuburan. Maka dari itu mereka sebutnya Gedung Setan, angker,” terangnya.
Meski begitu, Gedung Setan yang telah berusia dua abad ini telah dinyatakan sebagai bangunan cagar budaya namun tidak dapat direvitalisasi Pemerintah Kota Surabaya karena secara hukum pernah menjadi milik pribadi.