Ngobrolin tentang ganja, kita throwback sejenak ke beberapa tahun belakangan, Sob. Pada tahun 2022, ada seorang ibu yang menginkan minyak CBD (Cannabidiol) untuk mengobati sang anak. Yaps, ganja medis yang dibutuhkan oleh Santi Warastuti tersebut diperuntukkan bagi anaknya, Pika, yang mengidap cerebral palsy, Sob.
“Tolong, anakku butuh ganja medis,” tulisnya dalam sebuah papan spanduk yang ia bawa ketika hadir di car free day Bundaran HI, Jakarta Pusat. Sontak, publik pun memberikan atensi dan aksinya pun viral.
Tak hanya berseru di jalanan, suara ibu tersebut juga menggema di Mahkamah Konstitusi. Ia menginginkan agar lembaga tersebut memberikan putusan dalam upaya uji materi UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Santi beserta orangtua pasien cerebral palsy lainnya dan lembaga swadaya masyarakat melayangkan seruan tersebut ke MK pada November 2020. Tujuannya agar Narkotika Golongan I, termasuk ganja, bisa dipakai untuk kepentingan penelitian dan pelayanan kesehatan atau terapi.
Fenomena ganja medis Indonesia tak hanya terjadi di tahun 2022, Sob. Masih lekat di ingatan kita, kisah seorang PNS yang menanam ganja di rumahnya untuk pengobatan. Niatnya bukan banal, tapi PNS asal Sanggau, Kalimantan Barat yang dipanggil Fidelis Arie tersebut membutuhkan ganja demi pengobatan sang istri, Yeni Irawati.
Kisah Fidelis tersebut mencuat tahun 2017, yang mana istrinya tersebut mengidap penyakit syringomyelia. Penyakit tersebut membuatnya sulit tidur hingga berhari-hari, sukar menahan dan mengeluarkan urine hingga perutnya membesar, dan luka besar pada bagian pinggang sampai terlihat bagian tulangnya.
Suami siapa yang tega melihat istrinya merana, Sob? Fidelis sebenarnya sudah mengantarkan istrinya untuk pengobatan medis, herbal hingga dukun, namun apa daya, semuanya sia-sia.
Sampai pada akhirnya Fidelis memelajari literasi ganja medis. Dari sanalah, ia mencoba melakukan pengobatan ekstrak cannabis bagi sang istri. Menurut Yohana LA Suyati (kakak kandung Fidelis), kondisi Yeni berangsur membaik selepas penggunaan ganja medis.
Ganja Bermanfaat bagi Medis
Selayaknya makhluk hidup, rupanya tumbuhan ganja punya tujuan baik bagi kebutuhan medis manusia. Di negara seperti Amerika Serikat, ganja medis digunakan untuk mengontrol rasa sakit.
Menurut Peter Grinspoon, pendidik, dokter, dan spesialis ganja di Rumah Sakit Umum Massachusetts, ganja ternyata lebih aman daripada opium, Sob. Ia juga menerangkan kalau penggunaan ganja terkontrol nggak bikin overdosis, nggak bikin ketagihan, dan bisa menggantikan obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID).
Beberapa manfaat ganja lainnya menurut Grinspoon adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan Kapasitas Paru
Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of the American Medical Association (2012) karya Mark J. Pletcher, MD, MPH, menyebutkan kalau ganja berpotensi menambah kapasitas paru-paru yang berguna bagi penampungan udara bernafas. Hal ini berkaitan dengan cara penggunaan mariyuana alias ganja yang biasa diisap dalam-dalam.
Dalam penelitian tersebut peneliti mengambil sampel dari 5.115 orang dewasa muda selama lebih dari 20 tahun. Peserta yeng merupakan perokok tembakau kemudian kehilangan fungsi paru-parunya sepanjang waktu. Namun hal tersebut nggak berlaku bagi pengguna ganja yang malah mengalami peningkatan paru-paru.
2. Mencegah Glaukoma
Tak disangka, tumbuhan satu ini berpotensi untuk mengatasi serta mencegah mata dari penyakit glaukoma alias meningkatnya tekanan dalam bola mata. Selain itu, glaukoma juga merusak saraf optik, dan menyebabkan seseorang kehilangan penglihatan.
Menurut penelitian National Eye Institute, ganja memungkinkan untuk menurunkan intraocular pressure (IOP) alias tekanan bola mata pada orang dengan tekanan normal serta orang-orang dengan glaukoma. Efek ini mampu memperlambat perkembangan penyakit glaukoma sekaligus mencegah kebutaan.
3. Terapi bagi Pasien Kanker
Dikutip laman American Cancer Society, ganja dinilai mampu meningkatkan kualitas hidup pasien kanker. Selain itu, tumbuhan tersebut berguna bagi terapi paliatif yang fungsinya meredakan rasa sakit kronis yang dialami pasien kanker.
Tak hanya itu, ganja diklaim mampu melawan mual dan muntah dari efek samping kemoterapi, loh, Sob. Meski banyak penelitian memperingatkan masalah keamanannya, namun tumbuhan ini masih belum terbukti efektif dalam menyembuhkan kanker.
4. Mengurangi Nyeri Kronis
Harvard Health Publishing juga pernah menerbitkan artikel bertajuk Medical Marijuana (2020). Di dalam artikel tersebut, disebutkan bahwa ganja mampu meringankan rasa sakit gegara:
a. Multiple Sclerosis
b. Penyakit saraf
c. Sindrom wasting yang erat kaitannya dengan HIV
d. Sindrom iritasi usus besar, dan;
e. Penyakit Crohn.
Selain itu, ganja medis juga bisa digunakan untuk mengatasi penyakit yang menimbulkan nyeri kronis. Sebut saja:
a. Endometriosis atau jaringan lapisan rahim menumpuk di luar rahim.
b. Sistitis interstisial atau sindrom nyeri kandung kemih.
d. Serta, pelemas otot dan mengurangi tremor karena Parkinson
5. Mengatasi Masalah Kejiwaan
Sebuah studi yang diterbitkan dalam Clinical Psychology Review (2017) menunjukkan manfaat ganja medis untuk mengatasi masalah kesehatan mental tertentu.
Para peneliti kemudian menyimpulkan bahwa tumbuhan ini mampu menghilangkan gejala depresi dan gejala gangguan stres pasca trauma (PSTD). Akan tetapi, ganja bukan obat yang tepat bagi pasien gangguan bipolar. Pasalnya obat ini malah memperparah gejala mereka, Sob.
Pro-Kontra Ganja Medis Indonesia yang Tak Berujung
Walau pada 2 Desember 2020 lalu, UN Commission on Narcotic Drugs (CND) mengumumkan bahwa pihaknya memberikan dukungan dan rekomendasi penggunaan ganja serta zat terkait.
“CND votes on recommendations for cannabis and cannabis-related substances,” dilansir laman UNODC.org, pada Rabu (11/1).
CND telah memberi restu yang pada akhirnya direkomendasikan ke World Health Organization (WHO) untuk dapat meratifikasi ganja dalam kapasitas medis. Kalau kamu tertarik baca mengenai usulan mereka ke WHO, berikut tautannya, Sob.
Pada akhirnya, PBB kini telah memutuskan untuk mereklasifikasikan ganja dari daftar narkotika golongan IV menjadi golongan I. Reklasifikasi ini bukan berarti ganja bisa digunakan untuk ajang ‘rekreasi’, namun kapasitasnya untuk penelitian yang kaitannya untuk penggunaan medis.
PBB juga memberikan himbauan bahwa keputusan tersebut harus disikapi dengan bijak. Tidak serta merta membuat ganja bisa dikonsumsi secara legal, namun tergantung yurisdiksi dari masing-masing negara, ya, Sob.
Pandangan Indonesia tentang Ganja Medis
Tentu pro dan kontra tak hanya terjadi di skala global, Indonesia pun juga penuh dengan kesimpangsiuran atas penggunaan ganja. Banyak yang sadar, kok, kalau tumbuhan tersebut bermanfaat bagi medis, Sob.
Hal tersebut diamini oleh Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM, Prof. Apt. Zullies Ikawati, yang menjelaskan kalau ganja bisa digunakan untuk terapi atau obat. Pasalnya di dalam ganja mengandung komponen fitokimia aktif secara farmakologi. Ganja juga mengandung senyawa cannabinoid (CBD) yang didalamnya terdiri dari berbagai senyawa lainnya, sebut saja yang utama tetrahydrocannabinol (THC) dan bersifat psikoaktif.
“Psikoaktif artinya bisa memengaruhi psikis yang menyebabkan ketergantungan dan efeknya kearah mental,” jelasnya, dikutip laman resmi Universitas Gadjah Mada.
Ia menambahkan bahwa CBD memiliki aktivitas farmakologi dengan sifat tidak psikoaktif. Hal ini menjadikan senyawa tersebut memiliki efek salah satunya adalah anti kejang.
Namun menurut dokter Divisi Psikiatri Adiksi di Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, dr. Soetjipto, menyebutkan kalau kita nggak perlu terburu-buru dalam mengambil keputusan atas legalitas ganja.
Memang sebagian negara sudah banyak melegalkan pemakaian ganja medis. Namun belum dengan Indonesia karena beberapa alasan.
“Karena perlu memerhatikan banyak faktor, misalnya terkait dengan Undang-Undang Narkotika,” terangnya, dikutip Suarasurabaya.net, Rabu (11/1).
Ia menjelaskan alasan tak perlu tergesa-gesa tersebut, Sob. Pasalnya jika nantinya Indonesia mengesahkan legalitas ganja medis, yang ditakutkan adalah sikap penyalahgunaan yang mengakibatkan kecanduan.
“Kalau penduduk atau masyarakat di negara ini kecanduan ganja semuanya, ini akan mengganggu stabilitas negara. Hal itu berkaca dari bangsa lain yang kacau karena bermula dari maraknya penyalahgunaan zat-zat psikoaktif tersebut,” terangnya.
Soetjipto menyarankan jika nantinya ganja medis dilegalkan, pemerintah perlu membuat aturan akurat yang melindungi masyarakat dari penyalahgunaan pemakaian. Sebab selama ini ganja yang beredar sering disalahgunakan untuk ‘rekreasi’. Sedangkan ganja medis beda jenis sehingga seharusnya relatif aman untuk pengobatan.
Senada, Senator DPD RI asal Aceh yakni HM Fadhil Rahmi, menjabarkan bahwa usulan legalisasi ganja di Indonesia memang patut dipertimbangkan. Namun harus digarisbawahi kalau yang dilegalkan adalah untuk medis, Sob.
“Penekanannya, ganja untuk keperluan medis, ya. Jangan salah persepsi,” jelasnya, dikutip laman resmi Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Aceh.
Jalan ‘Mendung’ bagi Perjuangan Ibu Santi dkk.
Ibu Santi dan kawan-kawannya yang senasib melayangkan desakannya ke MK sejak tahun 2020. Namun permintaan tersebut baru terjawab sebulan setelah dirinya melakukan aksi di CFD 2022. Tepat pada Juli 2022, Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan keputusannya.
Namun sayang, MK memutuskan untuk menolak uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terkait penggunaan ganja medis untuk kesehatan. Penolakan tersebut adalah hasil rapat permusyawaratan hakim oleh 9 hakim MK yang disampaikan Ketua MK, Anwar Usman, dalam sidang putusan di Gedung MK, Jakarta pada Rabu (20/7/2022).
“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” terang Anwar dalam sidang putusan perkara nomor 106/PUU-XVIII/2020. MK menilai kalau lembaga nggak berwenang untuk mengadili materi tersebut lantaran legalitas ganja medis merupakan bagian dari kebijakan terbuka DPR dan pemerintah.