Tak selamanya kemajuan teknologi digital memberikan dampak positif, Sob. Salah satunya fenomena di ekonomi digital terbaru yaitu social commerce (s-commerce) yang kini sedang diawasi dan membuat pemerintah serta UMKM Indonesia ketar-ketir. Memangnya apa itu fenomena s-commerce?
Fenomena social commerce atau s-commerce sendiri merujuk pada istilah tren di dunia ekonomi digital di mana media sosial kini bisa juga dimanfaatkan penggunanya sebagai sarana transaksi jual beli selain sarana hiburan.
Dengan social commerce, pengguna bisa sekaligus mencari produk yang diinginkan, mencari toko terbaik, memilih dan membeli produk, hingga melakukan transaksi langsung lewat aplikasi media sosial.
Kelebihannya, transaksi nggak hanya terjadi antar penjual atau pembeli namun juga bisa dari influencer ke pembeli atau sesama pembeli yang saling merekomendasikan hingga terciptanya grup diskusi. Selain itu pembeli juga menjadi lebih teryakinkan karena penjual berinteraksi secara langsung dengan konsumen, memahami kebutuhan mereka, dan menawarkan solusi yang lebih relevan.
Praktik s-commerce sendiri dibagi menjadi dua, ada yang difasilitasi oleh platform, contohnya TikTok dan juga yang dilakukan secara pribadi atau langsung antara sesama pengguna media sosial. Misalnya jual beli di media sosial Instagram dan X.
Fenomena S-Commerce: Awal Untung, Lalu Jadi Ancaman
Awalnya, fenomena s-commerce ini dinilai bisa menguntungkan karena selalu mencatatkan nilai transaksi yang tinggi. Terlebih tak hanya pelaku usaha yang sudah punya nama besar yang bisa berjualan di platfrom media sosial, pelaku usaha mikro, kecil dan menengah juga bisa berjualan di sana.
Bahkan majalah bisnis asal Amerika Serikat yaitu Forbes pernah mengatakan bahwa nilai pasar social commerce di Asia mencapai US$360 miliar dengan social shoppers di Asia Tenggara diperkirakan mencapai 64 juta orang.
Namun s-commerce jadi dinilai mengancam kala munculnya Project S TikTok Shop yang kontroversial. Wajar saja, karena fitur terbaru TikTok akan membuat konsumen alih-alih membeli produk dari pedagang yang sudah ada duluan di TikTok Shop, bakal diarahkan membeli barang-barang dari TikTok atau perusahaan yang terafiliasi secara bisnis dengan TikTok.
Mengatasi masalah ini, pemerintah langsung melakukan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 guna membahas secara khusus dan mendefinisikan dengan jelas mengenai social commerce atau s-commerce. Diharapkan dengan aturan jelas, maka bisa tercipta persaingan yang lebih sehat.
Diawasi Oleh Kominfo
Tak hanya sekadar membuat payung hukum yang jelas, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tengah mengawasi fenomena s-commerce ini.
“Saat ini Kemkominfo memprioritaskan pengawasan s-commerce yang berbasis platform,” ujar Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Dirjen IKP Kominfo), Usman Kansong,di Jakarta, Jumat (8/9/2023).
Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi mengatakan tujuan pengawan s-commerce adalah guna melindungi masyarakat sebagi konsumen namun juga tak menghalangi penggunanya untuk berkreasi.
“Di satu sisi juga kita mau masyarakat juga harus dilindungi jangan sampai s-commerce ini jadi ajang penipuan. Prinsipnya perlindungan terhadap konsumen dan juga menumbuhkan daya kreativitas masyarakat juga tidak boleh mati,” ujarnya pada Kamis (20/7) lalu.
Intinya, Sob, boleh saja berbelanja di media sosial. Namun prinsipnya tetap sama dengan berbelanja di e-commerce. Kamu harus tetap berhati-hati dan selalu mengecek keaslian berulang kali sampai yakin. Karena transaksi jual beli juga tak luput dari penipuan.