Belakangan ini netizen tengah ramai membicarakan fenomena kidult, Sob. Kamu sendiri sudah tahu istilah ini, belum? Fenomena ini berkaitan dengan orang dewasa yang memiliki kebiasan membeli mainan layaknya anak-anak.
Diperkirakan fenomena ini muncul karena pandemi COVID-19 saat banyak orang dewasa membeli mainan anak-anak untuk menghilangkan kebosanan serta mengenang masa kecil. Selain kedua alasan tersebut, ada pula seseorang yang masih betah di zona kanak-kanak walau usianya sudah menua.
Sejarah Pertama Kali Fenomena Kidult
Istilah kidult berasal dari dua kata yang digabungkan menjadi satu, yakni kid-adult. Ternyata fenomena ini sudah terjadi cukup lama akan tetapi kini muncul kembali, namanya juga media sosial, ya, Sob, jadi gampang viral.
Julukan ini populer di negeri Paman Sam dan pertama kali diperkenalkan oleh seorang psikolog bernama Jim Ward-Nichols yang berasal dari Steven Institute of Technology di New Jersey, AS medio 1980-an.
Namun ada peniliti yang menyanggah ilmuwan tersebut karena menurutnya kidult sudah ada sejak 1960-an. Salah satu tandanya ketika orang dewasa masih memilih tinggal bersama orangtuanya demi menolak dewasa.
Pada tahun 1970 saja, terdapat sekitar 11% warga Amerika Serikat berusia 26 tahun yang masih tinggal dengan orangtua. Namun angka ini terus meningkat, sampai-sampai pada tahun 2005 silam kenaikannya mencapai 20%.
Penyebab Fenomena Ini Muncul Kembali
Melansir Huffington Post, Profesor Psikiatri dan Psikologi di University of Pittsburgh, Beatriz Luna mengatakan bahwa seseorang berusia 20 tahun dengan aktivitas berlebihan nggak akan bisa jadi dewasa sampai usia 25 tahun.
Adapula yang mengatakan kidult muncul dalam diri orang dewasa yang bernostalgia dengan masa kecilnya sehingga untuk mengingat kembali momen tersebut orang-orang ini membeli mainan anak-anak. Selain itu, ada pula seseorang yang masa kanak-kanaknya belum mampu membeli mainan idaman tetapi baru bisa tersampaikan ketika dewasa. Nah, apakah kamu juga sepeti ini, Sob?
Dampak Munculnya Fenomena Kidult
Kalau menurut piskologi, rasa ingin memiliki mainan anak-anak yang terjadi pada orang dewasa bisa menjadi bentuk penolakan terhadap usia masa penuaan pada mental mereka. Jika fenomena ini muncul pada seseorang, ada potensi bisa memengaruhi sikap menjadi kekanak-kanakan hingga kurang bertanggung jawab.
“Dewasa itu proses mental, tidak diukur dari seberapa usianya tapi seberapa matang seseorang secara mentalnya,” ujar Ratna Yunita selaku Dosen Psikologi UNISA.
Terlepas dari stigma masyarakat yang menganggap bahwa fenomena kidult menggelikan, sebenarnya nggak ada salahnya, loh, kalau orang dewasa ingin punya mainan. Siapa tahu memang dia adalah seorang kolektor, penjual, atau ada mainan idamannya yang baru terbeli ketika dirinya dewasa dan sudah bekerja. Kalau menurut kamu sendiri seperti apa, Sobat SJ?