Hidrogen bisa dikatakan menjadi salah satu deretan energi baru terbarukan (EBT). Indonesia pun saat ini sedang berfokus untuk transisi ke energi EBT demi upaya mitigasi dampak perubahan iklim. Bahkan, hidrogen dicanangkan sebagai sumber energi baru untuk sektor industri di masa depan.
Hal ini terungkap dari seminar Kementerian Perindustrian yang bertajuk “Hidrogen untuk Industri: Tantangan dan Peluang dalam Mendukung Kemandirian Industri” pada Maret 2022 lalu. Senyatanya, pemerintah sedang mempertimbangkan hidrogen sebagai energi baru untuk pengembangan industri berbasis clean energy.
Tak hanya untuk membuat industri lebih ramah lingkungan, namun perlahan sumber energi hidrogen juga menjadi jalan keluar untuk mengatasi kekurangan pasokan energi domestik di masa depan seperti energi yang berasal dari sumber yang tidak bisa diperbaharui yaitu fosil dan batu bara.
Ketersediaan energi domestik pada tahun 2030 diperkirakan hanya mampu memenuhi 75 persen permintaan energi nasional dan akan terus menurun hingga sekitar 28 persen pada tahun 2045.
Urgensi untuk segera beralih ke EBT di sektor industri juga didorong dari multiplier effect yang luar biasa yang bisa didapatkan dari penggunaan hidrogen. Ke depannya, diharapkan EBT hidrogen ini dapat berdampak pada daya saing industri, menarik minat investasi hingga pertumbuhan sektor industri dalam negeri.
Direktur Jenderal ILMATE Taufiek Bawazier, mengungkap bahwa hidrogen nantinya akan menjadi game changer bagi negara-negara di dunia yang akan menggantikan fosil dan batu bara. Hal ini dikarenakan hidrogen adalah jenis energi pembawa (energy carrier/energy factor transition) yang bisa digunakan untuk menyimpan, memindahkan bahkan menyalurkan energi dari sumber lainnya.
Mengapa Harus Hidrogen?
Diketahui hidrogen adalah unsur teringan dan yang paling banyak ditemukan di alam semesta serta menjadi unsur kimiawi dengan nomor atom satu. Energi hidrogen adalah energi yang bahkan dapat dibuat dari pembakaran gas, minyak bumi dan batu bara.
Hidrogen diperoleh dari proses pembakaran yang hanya menghasilkan air dan energi (listrik dan panas). Hidrogen yang disimpan akan dicampur dengan oksigen dari atmosfer dan terjadi reaksi kimia. Reaksi ini merupakan pereaksian pembentukan air yang membebaskan energi. Energi tersebut dikonversi menjadi listrik hingga mendekati 100% dan sisanya adalah panas.
Karena dihasilkan melalui proses pembakaran, memiliki kelebihan yaitu rendahnya biaya produksi. Diketahui biaya produksi green hydrogen mencapai US$2,5-4,5 per kg pada 2019, dan diproyeksi menjadi US$1-2,5 per kg pada 2030.
Maka dari itu hidrogen dinilai menjadi bahan berbahan bakar bernilai ekonomis dan berpotensi menjadi pengganti sumber energi dari fosil dan batu bara di masa depan. Pemanfaatan hidrogen sebagai sumber energi di Indonesia semakin disiapkan karena bisa digunakan di sektor industri pembangkit listrik, industri logam, industri makanan, dan bahkan industri semikonduktor.
“Selain itu, hidrogen dapat dimanfaatkan dalam cell baterai untuk aplikasi kendaraan bermotor, truk, kapal, kereta api bahkan pesawat udara. Peluang ini harus kita sikapi dengan menyiapkan kemampuan baik dari sisi teknologi maupun dari sumber daya manusia. Artinya, pemanfaatan hidrogen akan meningkatkan daya saing bagi nilai tambah industri,” papar Taufiek.
Teknologi fuel cell berbasis hidrogen juga telah terdapat dalam peta jalan industri otomotif nasional tersebut. Dengan menggunakan sumber energi hidrogen diharapkan bisa menciptakan industri yang lebih ramah lingkungan.