Ekspor produk turunan bijih nikel telah menembus angka 16,54 dolar AS atau setara Rp253,8 triliun sepanjang paruh pertama 2023. Hal tersebut diketahui berdasarkan hasil laporan dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves).
Diketahui memang selama 2 tahun ke belakang ini tren ekspor turunan bijih nikel mengalami kenaikan yang signifikan. Pada 2020 nilai ekspor turunan nikel mencapai 11,69 miliar atau setara dengan Rp182,45 triliun.
Kemudian sepanjang tahun 2021 tren ekspor produk turunan nikel terus meningkat hingga besarannya tembus 22,53 miliar dolar AS. Begitupun pada 2022 nilainya terus meningkat hingga 34,28 dolar AS.
“Tahun lalu karena kita sudah produksi iron steel, nickel matte, dan MHP ini ekspor sudah 34,28 miliar,” ujar Luhut Binsar Pandjaitan selaku Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi saat Seminar Nasional Ikaxa, di Jakarta, pada Kamis (14/9/2023).
Menurut perkiraan Luhut, tren ekspor turunan nikel akan kembali mengalami peningkatan dalam dua tahun ke depan, Sob. Hal ini pun juga selepas adanya rencana produksi baterai dan mobil listrik pertama di Tanah terealisasi.
“Pada 2025 kita sudah akan produksi lithium dan mobilnya itu ekspornya mungkin sudah double dampak ekonomi ke kita super besar, banyak pengamat-pengamat yang ngomong tapi tidak tahu data ini,” tuturnya.
Kritikan Setop Ekspor Bijih Nikel
Namun di balik nilai ekspor membaik, ternyata Indonesia sedang menghadapi tuntutan dari kebijakan stop ekspor bijih nikel. Bahkan International Monetary Fund (IMF) atau Dana Moneter Internasional memberi kritik serius terhadap kebijakan moratorium tersebut.
Kritikan tersebut tertuang dalam laporan Dokumen Konsultasi Staf IMF (IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia) pada akhir Juni 2023.
Mengenai hal tersebut, pemerintah juga akan terus membangun komunikasi dengan sejumlah negara mitra kegiatan kebijakan hilirisasi bijih nikel yang telah lama digugat Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
“Kita bilang ke WTO dan Gedung Putih ada yang salah dengan kalian. Kami hanya setop bahan mentah. Kami tidak punya hak untuk bertahan, masa kalian bawa kami ke WTO?” ucap Luhut.
Kondisi Hilirisasi Industri Nikel di Indonesia
Di samping itu, memang kondisi industri ini juga terpaksa langsung mengekspor olahan bijih nikel hasil pemurnian awal. Hal ini disebabkan karena belum terciptanya industri perantara dan hilir yang kuat untuk menyerap komoditas setengah jadi.
Alhasil nilai tambah olahan nikel pun berkurang. Belum lagi sekarang ini banyak pabrik pemurnian dan pengolahan mineral logam atau smelter yang beralih ke luar negeri.
Sementara, sejauh ini sebagian besar produk turunan bijih nikel dibeli oleh Cina. Lalu berikutnya disusul dengan Jepang, Korea Selatan hingga Norwegia ikut menjadi importir nikel utama.
Jauh sebelum itu, CEO Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Alexander Barus mengatakan situasi tersebut terjadi karena industri anoda dalam negeri masih belum siap untuk melanjutkan serapan turunan dari mix hydroxide precipitate (MHP), seperti nikel sulfat (NiSO4), dan cobalt sulfat (CoSO4).
“MHP kita masih ekspor karena kita belum olah di dalam negeri sampai ke sulfat ke packing menjadi sel. Itu masih tahap satu setelah bijih nikel, karena siapa yang mau beli,” ucapnya.
Selain itu, sebagian besar kegiatan hilirisasi tambang nikel di Morowali dilakukan di luar negeri. Oleh karena itu, pihaknya meminta kepada pemerintah untuk segera mempercepat pembangunan industri perantara agar bisa menyerap limpahan nikel hasil pemurnian tersebut.
“Sekarang kami produksi prekursor dan katoda tapi di dalam negeri tidak ada industri anodanya tetap saja harus ekspor, proses hilirisasi harus disambung dengan industri, baru nilai tambah kita dapatkan,” ujar Alex.