Indonesia menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan sampah. Sejauh ini, pemerintah Indonesia telah mengagendakan upaya mencapai 30% pengurangan dan 70% penanganan sampah rumah tangga dan sejenisnya. Salah satunya, dicapai dengan ekonomi sirkular destinasi wisata untuk pelopori Indonesia Bebas Sampah 2025.
Langkah tersebut ditempuh Yayasan Anak Bangsa Bisa (YABB) dengan mendukung inisiasi pengelolaan sampah di destinasi wisata Tanah Air dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Dilansir Kontan, Indonesia masih menghadapi tantangan besar soal pengelolaan sampah. Timbulan sampah pada 2020 mencapai 67,8 juta ton, dan diperkirakan akan meningkat 5% setiap tahunnya. Sebanyak 15% dari timbulan sampah itu merupakan sampah plastik.
Menanggapi tantangan ini, pemerintah Indonesia telah meluncurkan sejumlah inisiatif menuju Indonesia Bebas Sampah 2025. Sebagai organisasi nonprofit bentukan grup GoTo, YABB hendak memperkuat upaya capaian itu.
Menerapkan inovasi ekonomi sirkular di destinasi wisata, YABB melibatkan sejumlah kelompok pembawa perubahan terpilih setiap destinasi. Pada tahap awal, kegiatan ini menjalankan proyek percontohan di Bali, Labuan Bajo, dan Danau Toba.
Dukungan ini diberikan melalui program Catalyst Changemaker Ecosystem (CCE) gelombang kedua yang bermaksud membantu menyelesaikan masalah sampah lewat penerapan ekonomi sirkular di ketiga lokasi tujuan wisata tersebut.

“Lewat CCE, kami berkomitmen untuk membantu agenda pemerintah Indonesia menangani pengurangan dan penanganan sampah rumah tangga dan sejenisnya, serta penanganan timbulan sampah lautan pada 2025,” ungkap Monica Oudang, Chairperson YABB.
Monica menambahkan, YABB telah memetik pelajaran penting, bahwa solusi temporer dan upaya yang berjalan sendiri-sendiri kurang efektif untuk menghasilkan perubahan jangka panjang. Maka YABB merancang inisiatif untuk mendukung agenda pemerintah melalui tiga kegiatan utama CCE, yaitu bersatu (Link Up), melebur (Sync Up), dan berkembang (Scale Up).
Koordinasi dengan Pemerintah Pusat dan Daerah
Dalam praktiknya, program yang dijalankan YABB bekerja sama dengan Kemenparekraf dan berbagai pelaksana kebijakan di daerah, seperti Dinas Lingkungan Hidup Daerah, Dinas Pariwisata Daerah, dan Dinas Pekerjaan Umum Daerah.
Bersama Kemenparekraf, YABB memproses pertukaran data dan informasi sebagai acuan pengelolaan sampah di ketiga daerah wisata. Koordinasi teknis dan perencanaan pun dilakukan bersama Badan Otorita Pariwisata, Penyedia Jasa Pengelolaan Sampah, dan Pengelola Destinasi Wisata Bahari.
Fransiskus Xaverius Teguh, Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI mengapresiasi dukungan YABB lewat program CCE berbasis ekonomi sirkular.
Fransiskus menungkapkan, krisis sampah yang dihadapi negara kepulauan Indonesia perlu dikelola dengan upaya gigih dan secara meluas. Ini mengingat luas perairan Nusantara sebesar 70% dari keseluruhan wilayahnya.
“Kemenparekraf sadar bahwa pantai dan lautan merupakan aset terbesar bagi pariwisata Indonesia yang dapat mengundang banyak wisatawan serta mendongkrak nilai devisa. Oleh karena itu, seluruh elemen masyarakat harus berpartisipasi secara aktif dalam pelestariannya,” ucapnya.

Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden No. 83 tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut, Kemenparekraf telah menerbitkan Permenparekraf No. 5 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Plastik di Destinasi Wisata Bahari. Ini sesuai dengan amanat Rencana Aksi Nasional Penanganan Sampah Laut. Menurut Fransiskus, inisiatif program CCE dari YABB sejalan dengan agenda Kemenparekraf berupa program pendampingan pengelolaan sampah plastik di destinasi wisata bahari.
Senada dengan itu, YABB berharap dukungan ekonomi sirkular destinasi wisata dapat memantik dan mempererat kolaborasi berbagai pihak untuk mengentaskan masalah sampah di Indonesia.
Satu langkah pertama ini semoga dapat diteruskan hingga mencapai Indonesia Bebas Sampah 2025, ya, Sob.