Sejak berjalannya program hilirisasi nikel, terdapat beberapa efek berganda (multiplier effect) yang perlahan-lahan mulai terlihat pada pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini disampaikan oleh juru bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arif.
Buat yang belum mengenal, multiplier effect merupakan efek yang meluas karena ditimbulkan oleh kegiatan ekonomi di suatu negara. Maka ia disebut efek berganda yang memberikan pengaruh pada beragam aspek, seperti investasi, pengeluaran pemerintah, pajak, dan subsidi pemerintah.
Nah, untuk efek berganda hilirisasi nikel terletak pada smelter. Besaran efek berganda bisa dilihat dari nilai tambahnya, Sob. Menurut perhitungan Kemenperin, nilai tambah dari industri nikel ore hingga produk hilirnya meningkat berkali-kali lipat apabila diproses di dalam negeri.
Febri mengatakan jika nilai ore mentah dibanderol seharga 30 dolar AS/ton, saat menjadi nikel pig iron (NPI) harganya akan naik 3,3 kali mencapai 90 dolar AS/ton. Namun, apabila menjadi ferronikel, maka kenaikannya bisa 6,76 kali atau setara dengan 203 dolar AS/ton.
Saat hilirisasi menghasilkan nikel matte, maka nilai tambahnya juga meningkat 43,9 kali lipat atau sama dengan 3.117 dolar AS/ton. Apalagi, belakangan ini Indonesia juga tengah gencar membangun smelter sehingga menjadikan MHP sebagai bahan baku baterai dengan nilai tambah sekitar 120,94 kali.
“Apalagi, jika ada pabrik baterai yang mengubah ore menjadi LiNiMnCo, maka nilai tambahnya bisa mencapai 642 kali lipat,” jelas Febri.
Menurut Febri hal tersebut bisa menambah pemasukan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan pajak-pajak lain yang nilainya bisa mencapai triliunan rupiah.
Sebagaimana disampaikan oleh Presiden, jika kita melakukan ekspor bahan mentah, maka Indonesia hanya mampu menjual Rp17 triliun. Tentu angka tersebut lebih kecil ketimbang dengan ekspor produk hasil hilirisasi nikel. Totalnya bisa mencapai Rp510 triliun sehingga penerimaan negara dari pajak juga akan jauh lebih meningkat.
Melihat dari statusnya, kedudukan Indonesia sebagai pemain ekspor utama produk hilir logam nikel semakin menguat dalam beberapa tahun terakhir. Peran utamanya setelah kebijakan hilirisasi dan pelarangan ekspor bijih nikel diterapkan.
Pada 2022, ekspor stainless steel dalam bentuk slab, HRC maupun CRC, tembus angka 10,83 miliar dolar AS. Nilai ekspor tersebut meningkat sebanyak 4,9 persen dari tahun 2021. Kala itu besaran nilai ekspornya hanya 10,32 miliar dolar AS.
Sementara berdasarkan data World’s Top Exports pada 2022, Indonesia termasuk negara pengekspor HRC tertinggi di dunia dengan nilai 4,1 miliar dolar AS. Febri menambahkan, ekspor produk hilir dari nikel juga mengalami kenaikan.
Kehadiran nikel di Indonesia mampu menaikkan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) industri di provinsi tempat smelter nikel berada. Selain itu, dibangunnya smelter untuk hilirisasi nikel juga berdampak positif bagi sektor UMKM di wilayah sekitar, loh.
“Hilirisasi jangan melihat dari ownership smelter, baik itu PMA atau PMDN. Tetapi, lebih ke arah pendekatan nilai tambah ekonomi sehingga manfaat yang dirasakan dengan berjalanannya hilirisasi memberikan nilai nyata bagi pembangunan nasional,” tandas Febri.