“Support women on their way to the top. Trust that they will extend a hand to those who follow” begitulah yang diucapkan oleh Mariella Dabbah mengenai perempuan yang sepertinya cocok untuk menggambarkan pergerakan Du’Anyam.
Du’Anyam adalah produk anyaman berkualitas tinggi buatan kumpulan pengrajin perempuan NTT (Nusa Tenggara Timur) yang dinilai publik sebagai brand premium. Di balik predikatnya tersebut, Du’Anyam sebenarnya adalah misi sosial yang diinisiasi oleh tiga srikandi asal Indonesia, Azalea Ayuningtyas, Hanna Keraf, dan Melia Winata.
“Di tahun 2013 kami bertiga ke NTT. Kami melihat masalah malnutrisi yang masif terjadi pada anak-anak di Flores NTT. Selain itu, ada banyak masalah sosial. Salah satunya ibu-ibu di sana juga terkena malnutrisi,” ujar Melia Winata.
Di samping itu, para founder menemukan bahwa banyaknya pohon lontar di Flores NTT rupanya dapat dijadikan sumber utama untuk bahan membuat anyaman. Terlebih lagi, semua perempuan NTT bisa menganyam, sehingga muncul ide untuk menjadikan ini sebagai pencaharian perempuan di sana. “Ketika sumber daya daun lontar di sana melimpah dan mama-mama di sana bisa mengayam, maka kami ajak untuk menghasilkan produk,” imbuh Melia.
Ketiganya lalu merancang, memproduksi dan memasarkan produk anyaman karya mama-mama dari 17 desa di Flores Timur dengan nama Du’Anyam. “Nama tersebut berasal dari bahasa lokal. Du adalah ibu, dan Anyam merujuk produk kami yang berbasis anyaman,” papar Melia.
Menurut Melia, anyaman yang dirangkai oleh Du’Anyam memiliki keunikan dan tidak dilakukan di tempat lain. Dari sinilah Du’Anyam akhirnya mengajarkan perempuan di NTT bagaimana desain yang bagus dan seperti apa produk yang dapat diterima oleh pasar.
Selama tujuh tahun lamanya, Du’Anyam telah berdirinya dan berhasil sejahterakan perempuan di daerah NTT. Menurut Melia, Du’Anyam masih dapat bertahan dan konsisten dengan kewirausahaan sosial karena tiga pilar yang selalu ditanamkan oleh brand tersebut yakni memberdayakan perempuan, meningkatkan taraf hidup, dan mempromosikan budaya anyaman.
Selayaknya seperti bisnis, Du’Anyam juga memiliki hambatan sebagai bisnis berbasis sosial. “Selain harus konsisten melakukan gerakan sosial, bisnis Du’Anyam harus tetap berjalan. Karena kalau bisnis tidak berjalan, social impact juga tidak akan terasa. Maka hal yang tersulit adalah menyeimbangkan supply and demand,” cerita Melia.
Dalam pemasaran produknya, Du’Anyam menerima order dari perusahaan sebagai konsumen utama. Pasalnya pesanan B2B (business to business) umumnya dalam jumlah besar, sehingga pengrajin di NTT juga lebih banyak menghasilkan produk dan pendapatan yang lebih besar.
Selain memasarkan B2B, Du’Anyam juga menjual offline pasar-pasar di luar pulau dan online. Bahkan produk mereka diekspor hingga ke Jepang. Setiap bulannya, para pengrajin ini bisa menghasilkan hingga 5.000 produk anyaman setiap bulan.
“Pesanan paling besar yang pernah kami terima datang dari ASIAN GAMES 2018. Total ada 16.000 produk yang ludes. Kesuksesan jadi official merch ASIAN GAMES 2018 adalah berkah untuk kami semua di Du’Anyam,”ucap Melia. Selain itu, Du’Anyam juga sempat mencicipi mengikuti pameran di Milan dalam ajang Salone Del Mobile.