Beberapa bulan lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan bahwa Indonesia bakal punya pabrik industri panel surya. Tentunya, pengembangan industri panel surya memerlukan jenis komoditas mineral yang tepat sesuai dengan kebutuhannya.
International Energy Agency (IEA) merekomendasikan mineral kritis karena merupakan komoditas yang paling banyak diperlukan untuk kebutuhan industri panel surya. Dua macam mineral kritis yang diperlukan ialah silikon dan tembaga lewat teknologi solar photovoltaic.
Solar photovoltaic atau yang disebut sebagai modul atau panel surya merupakan teknologi untuk mengubah sinar matahari menjadi energi listrik. Teknologi ini dirancang dengan menggunakan bahan baku mineral kritis (critical minerals).
Terkait itu, IEA menduga bahwa permintaan mineral kritis untuk kebutuhan global akan terus meningkat. Hal ini sejalan dengan tren penggunaan teknologi bersih yang diprediksi juga bakal menguat.
“Pengembangan teknologi bersih seperti panel surya dan baterai listrik telah mendorong pertumbuhan pasar mineral yang belum pernah terjadi sebelumnya,” ujar IEA pada laporan Critical Minerals Market Review 2023.
Pihak IEA melanjutkan, keterjangkauan dan kecepatan dari transisi energi akan sangat dipengaruhi ketersediaan pasokan mineral kritis. Diperkirakan volume permintaan silikon untuk produksi panel surya global tembus hingga 756 ton pada 2022. Sementara itu, permintaan tembaga di sektor industri ini masih di kisaran 681 ribu ton.
Selain untuk pengembangan energi surya, komoditas mineral kritis juga banyak diperlukan oleh beberapa sektor industri lain, seperti pembangkit listrik tenaga angin, kendaraan listrik, dan baterai penyimpanan energi terbarukan.
Berdasarkan data yang dikeluarkan IEA pada 2022, industri pembangkit listrik tenaga angin paling banyak menggunakan mineral yang berjenis seng (zinc) dan tembaga. Sementara untuk industri kendaraan listrik dan baterai, paling banyak menggunakan grafit.
Jadi, apakah Indonesia sudah memiliki sumber komoditas mineral silikon dan tembaga yang cukup untuk industri panel surya dalam negeri?