Memiliki komoditas sumber daya alam melimpah, seperti sawit, kopi, kakao, karet dan nikel, Indonesia dinilai belum dapat memaksimalkan nilai tambah secara ekonomi. Hal ini diungkapkan langsung oleh Dr. Esther Sri Astuti, ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) dalam sebuah webinar mengenang Dr. Enny Sri Hartati bertajuk Ekonomi Tumbuh dengan Daya Saing, Hilirisasi dan Industri yang Kuat, pada Sabtu (9/10/2021).
Faktor utama belum maksimalnya nilai tambah ekonomi dari komoditas ekspor Indonesia tersebut terjadi karena sebagian besar hilirisasi industri di Indonesia belum banyak menggunakan teknologi yang memadai untuk mengolah komoditas yang dihasilkan.
Selain itu, dari aspek produktivitas tenaga kerja dan kapital di Indonesia masih cenderung kecil, bahkan dari tahun ke tahun menunjukkan stagnasi. Berdasarkan pengolahan data skenario yang dilakukan Dr. Esther Sri Astuti, jika masih banyak industri di Indonesia tidak menggunakan teknologi, maka pertumbuhan ekonomi cenderung rendah.
Untuk itu, dibutuhkan peningkatan kapital guna menjadi modal untuk mengadopsi teknologi sesuai dengan kebutuhan dan spesialisasi dari industri tersebut. Sebagai contoh, industri elektronik yang dapat menggunakan teknologi nanoteknologi sebagai kebutuhan yang dapat diterapkan untuk meningkatkan olahan produk.
Dr. Esther Sri Astuti juga mengungkapkan jika banyak tantangan pada industri di Indonesia, karena saat ini di sektor industri hanya mengadopsi 6% teknologi tinggi dan 30% teknologi menengah. Untuk mendukung hilirisasi industri yang sukses, peran inovasi dan teknologi sangat dibutuhkan serta didukung oleh anggaran R & D yang selama ini dinilai masih sangat kurang.
“Harus disadari peran inovasi dan teknologi sangat krusial untuk mendukung hilirisasi yang sukses. Tentunya harus juga di-support oleh anggaran R&D yang selama ini masih sangat kurang. Demikian pula dengan peningkatan skill pekerja industri,” ujar Esther.
Di sisi lain, ekonom INDEF lainnya yakni Dr. Eisha M. Rachbini menjelaskan, realitas daya saing industri manufaktur Indonesia berada pada ranking 40 dari 152 negara, dengan 44,2 persen masih bertumpu pada sumber daya alam, dan dengan teknologi rendah.
“Hal itu diperburuk oleh kinerja industri manufaktur nasional yang juga terus turun dari 11% pada 1993, lalu anjlok pada 1998 dan setelah itu, kinerja industri manufaktur dalam negeri hanya 5%(2013). Kinerja industri pengolahan juga jatuh sekitar 75,73 pada 2013 menjadi 67,60 pada 2020,” tambah Dr. Eisha.