Momen Idulfitri melekat dengan lagu bertema Lebaran. Buat Sobat yang biasa mendengarkannya, tentu sudah melekat dalam ingatan dan terngiang dengan beberapa nadanya. Salah satu tembang yang dinyanyikan atau diperdengarkan di publik kala Lebaran ialah “Hari Lebaran”. Tahukah Sobat, ada sisi menarik dari cerita di balik lagu “Hari Lebaran“?
Lagu yang digubah oleh maestro komponis Ismail Marzuki ini mengandung beragam kesan sekaligus pesan dari liriknya. Pertama-tama, lagu ini mengantar pendengarnya dalam suasana peralihan fase ibadah umat Muslim dari berpuasa setelah sebulan menuju perayaan kemenangan pada Lebaran.
Setelah berpuasa satu bulan lamanya
Berzakat fitrah menurut perintah agama
Kini kita beridul fitri berbahagia
Mari kita berlebaran bersuka gembira
Berjabatan tangan sambil bermaaf-maafan
Hilang dendam habis marah di hari lebaran
Diciptakan pada tahun 1954, “Hari Lebaran” dinyanyikan pertama kali oleh Didi, nama samaran dari Suyoso Karsono. Dilansir Kompas, lagu yang memopulerkan ucapan “minal aidzin wal faidzin, maaf lahir dan batin” pada bagian refrainnya ini, mula-mula direkam di Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta. Suyoso menyanyikannya bersama iringan musik dari Orkes Mus Mualim.
Bait-bait dalam lagu ini turut memotret situasi riil hiruk-pikuk warga pada era 1950-an di desa dan kota kala Idulfitri. Ditilik dari pilihan kata yang dipakai Ismail, kuat menggambarkan konteks denyut hidup masyarakat Betawi yang dituliskannya menjadi lagu.
Simaklah bagian ini:
Dari segala penjuru mengalir ke kota
Rakyat desa berpakaian baru serba indah
Setahun sekali naik terem listrik perey
Hilir mudik jalan kaki pincang sampai sore
Akibatnya tengteng selop terompe
Kakinya pada lecet babak belur berabe
Dari lirik lagu “Hari Lebaran”, kita juga menangkap kepekaan Ismail sebagai putra asli Betawi terhadap kondisi masyarakat Jakarta di masa silam. Lebih dari menggambarkan, Maing—sapaan akrab Ismail Marzuki—juga menyisipkan maksud meledek. Ini tercerap dari lirik berikutnya yang membedakan perilaku orang kota dalam merayakan hari kemenangan nan fitri.
Cara orang kota berlebaran lain lagi
Kesempatan ini dipakai buat berjudi
Sehari semalam maen ceki mabuk brendy
Pulang sempoyongan kalah main pukul istri
Akibatnya sang ketupat melayang ke mate
Si penjudi mateng biru dirangsang si istri
Sungguh lirik yang ditata dengan menarik, ringkas, dan berhasil membunyikan rima!
Sindiran Sosial
Jelas sekali, gambaran dalam lirik yang ditulis Maing menampakkan kondisi ketimpangan antara orang pinggiran dan kota di Jakarta dalam merayakan Lebaran. Alih-alih bertendensi lebih berceramah soal nilai-nilai agamais, Maing memaparkan secara jenaka laku hidup warga, termasuk Muslim ibu kota.
Namun, perlu disadari, lirik lengkap lagu ini amat jarang diperdengarkan. Terlebih bagian situasi sosial tersebut tak pernah kita dengarkan atau baca lagi karena dihilangkan sesudah Maing meninggal pada 1958. Padahal, sebagaimana kecenderungan Maing dalam menciptakan lagu, ada muatan kritik atau sindiran sosial yang diungkapkan.
“Bapak saya memang selalu membuat lagu berdasarkan peristiwa yang sedang terjadi,” kata Rachmi Aziah, putri Ismail Marzuki kepada Koran Tempo, pada 2011.
Hal itu ditunjukkan Ismail dalam bait lainnya yang merekam kondisi ekonomi jelang Pemilu pertama yang dilambari hidup prihatin sembari berharap jalan keluar. Cerita di balik lagu “Hari Lebaran” pun memuat gambaran tradisi masyarakat Betawi yang menikahkan anak di masa bulan Syawal, tak jauh dari nuansa Lebaran.
Maafkan lahir dan batin
Lan taun hidup prihatin
Cari wang jangan bingungan
Lan syawal kita ngawinin
Dalam bait yang lain, Ismail mengkritik dengan gamblang perilaku korupsi pejabat. Kalau dipikir-pikir, Sob, dari lagu ini kita tersadar. Ternyata baik dulu maupun hingga kini, tindakan korupsi masih saja menggejala di negeri ini.
Kondangan boleh kurangin
Korupsi jangan kerjain
Setelah merekam perilaku kaum urban yang lekat dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga hingga korupsi, lagu “Hari Lebaran” menyajikan bait ulangan sebagai inti lagu. Kita seakan diajak untuk kembali berdamai dan bermaaf-maafan di hari puncak Idulftri. Setelah puas menyindir, Maing bermaksud agar para pelantun dan pendengar lagu ini tak lupa mendoakan keselamatan dan kesejahteraan rakyat dan para pemimpin.
Minal aidin wal faidzin
Maafkan lahir dan batin
Selamat para pemimpin
Rakyatnya makmur terjamin.
Itulah kisah di balik “Hari Lebaran” karya Ismail Marzuki. Sosok Ismail telah mengabadi lewat beragam karya musiknya. Selain “Hari Lebaran”, dia menggubah ratusan lagu lain, di antaranya “O Sarinah”, “Gugur Bunga”, “Melati Di Tapal Batas”, “Rayuan Pulau Kelapa”, “Indonesia Pusaka”, “Halo-Halo Bandung”, dan “Juwita Malam”.
Tercatat Ismail telah membuat lebih dari 200 judul lagu, baik lagu nasional maupun lagu bergenre keroncong. Tak hanya keroncong, Ismail menekuni aliran musik jaz, hawaii, dan seriosa atau klasik ringan. Seperti terasa dalam hasil ciptaannya, lagu “Hari Lebaran” memadukan unsur jaz dan musik Melayu.
Nah, kalau kamu, apa lagu yang paling berkesan bagi Sobat saat hari raya Lebaran?