Energi hijau sedang digenjot pengembangannya oleh pemerintah. Pasalnya, dengan menggunakan energi hijau, bisa meminimalisir dampak perubahan iklim. Namun, untuk mewujudkan dan menyukseskan pengembangan energi hijau yang tak hanya dilakukan oleh sektor industri tapi juga rumah tangga ini senyatanya membutuhkan dana yang besar.
Sebelumnya, Sampaijauh.com pernah membahas bahwa untuk mewujudkan target nol emisi karbon di 2060 lewat pengembangan energi baru terbarukan (EBT) atau energi hijau membutuhkan dana hingga US$500 miliar atau sekitar Rp7.250 T (dalam kurs Rupiah Rp14.500). Banyak juga, ya, Sobat.
Sedangkan per Juli 20202, pemerintah baru menyiapkan dana mencapai Rp483,11 miliar untuk membangun infrastruktur EBT. Dana ini kemudian akan akan digunakan untuk pembangunan 33.476 unit pembangkit Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di tahun 2022.
Tentu dana yang dimiliki masih sangat jauh dari kata terpenuhi bila menilik total prediksi biaya yang dibutuhkan hingga ribuan triliun. Terlebih Indonesia juga dikejar waktu dengan menargetkan persebaran EBT mencapai 23% di 2025 atau 3 tahun dari sekarang.
Maka dari itu, pemerintah melaui pihak perusahaan migas pelat merah yaitu Pertamina, akan menggelontorkan 14% dana belanja modal mereka untuk pengembangan energi baru terbarukan (EBT) atau belanja modal tersebut setara dengan US$11 miliar atau kisaran Rp163 triliun. (dengan asumsi kurs: Rp14.825).
Senior Vice President (SVP) Research & Technology Innovation PT Pertamina, Oki Muraza lebih lanjut mengklaim bahwa alokasi dari BUMN pihaknya bahkan melampaui rata-rata belanja modal (capex) dari perusahaan energi global.
“Kami menyiapkan dana belanja modal yang cukup untuk proyek EBT. Tentunya dengan menambah volume EBT saja tidak cukup, kita harus memitigasi energi dari bisnis hidrokarbon kita,” ungkap Oki dalam Workshop The Implementation of CCS/CCUS to Advancing Energy Transition di Bali, Senin (29/8/2022).
Maka dari itu, selain menyiapkan modal, Pertamina juga menyiapkan road map untuk pengembangan energi hijau. Proyek-proyek yang terdapat di dalamnya meliputi panas bumi, hydrogen, EV battery & energy storage system (ESS), bioenergy, CCUS dan pengembangan energi hidro.
“Tentunya semua ini diharapkan berkontribusi untuk pengurangan emisi karbon,” jelas Oki.
Dukungan Lainnya yang Juga Harus Disiapkan Pemerintah
Direktur Utama PT Pertamina Power Indonesia selaku sub-holding Pertamina New Renewable Energi (PNRE), Dannif Danusapotro mengungkapkan bahwa pihaknya masih membutuhkan dukungan pemerintah dalam transisi energi migas, khususnya dalam pengimplementasian program CCS/CCUS.
“Masih membutuhkan dukungan pemerintah dalam bentuk regulasi, perizinan, insentif, dan subsidi,” jelas Dannif.
Adapaun pengimplementasian Carbon Capture Storage, Utilization & Storage (CCS/CCUS) ini memiliki peranan penting dalam kegiatan transisi energi. Teknologi CCS/CCUS bisa mengurangi emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer. Kalau mau paham lebih jelasnya tentang teknologi CCS/CCUS, kamu bisa baca lebih lengkap di sini.
Saat ini proyek CCS/CCUS di 6 lapangana migas juga sedang dikebut pemerintah yaitu CCS/CCUS Hubs Central Sumatera, CCS for coal to Dimethyl Ether (DME) plant di Tanjung Enim, CCS/CCUS Hubs Kutai and Sunda-Asri Basin, CCUS/EGR Gundih, CCUS CO2 – EOR Sukowati dan CSS di Donggi Matindok Block (Sulawesi Tengah).