Tidak banyak orang yang ketika gagal terus mencoba agar yang dikerjakannya menjadi berhasil dan membuat bangga keluarga, bangsa dan negara. Hingga membuat perusahaan swasta ternama dunia melirik untuk mengetahui hasil kerja kerasnya. Salah satu orang tersebut adalah Christopher Farrel Millenio Kusumo (21).
Pemuda kelahiran 1 Januari 2000 asal Yogyakarta ini sempat ditolak hasil penelitiannya. Tak tanggung-tanggung, hasil riset ilmiah Christopher Farrel Millenio Kusumo mengalami penolakan sebanyak 11 kali di berbagai lomba penelitian ilmiah di Indonesia.
Saat itu, Farrel (nama panggilan) masih duduk di bangku kelas 1 SMA melakukan penelitian dan mengajukan proposal mengenai data compression. Setelah kurang lebih satu setengah tahun melakukan penelitian, ia pun berhasil menciptakan judul penelitian “Data Compression Using EG and Neural Network Algorithm for Lossless Data”.
Hasil penelitian ini pun ia ajukan ke ajang kompetisi ilmiah di Indonesia pada 2016, baik regional maupun nasional. Alasan Farrel mengajukan proposal ilmiahnya adalah belum ada orang Indonesia yang meneliti secara khusus mengenai data compression. Mantan siswa SMA Negeri 8 Yogyakarta ini menilai dampak dari penelitiannya sangat positif. Sayangnya, upaya itu tidak membuahkan hasil yang menggembirakan.
“Ya, kalau dihitung sampai 11 kali tidak diterima,” celetuk Farrel kepada salah satu media di Indonesia.
Meski mendapat penolakan berkali-kali, Farrel tidak patah semangat. Justru hal tersebut menjadi sebuah semangatnya untuk terus menyempurnakan penelitiannya dengan baik, dari mulai teori hingga penulisannya.
“(Saya) tidak menyalahkan panitia, tetapi diri saya sendiri dan mengevaluasi. Mungkin cara saya menyampaikannya kurang tepat, sehingga mereka sulit memahami, jadi terus disempurnakan sampai-sampai membuat delapan versi,” cerita Farrel mengenai kegagalannya.
Sampai suatu hari, Farrel melihat sebuah pengumuman lomba penelitian yang diadakan oleh Google di media online. Tanpa pikir panjang, ia pun mengajukan proposal ilmiahnya ke perusahaan raksasa teknologi asal Amerika Serikat tersebut. Ia mengaku saat mencoba submit risetnya dengan perasaan pasrah tanpa berharap sesuatu yang lebih.
“Namanya submit riset, saya sudah pasrah dan enggak mikir diterima. Eh, ternyata setelah satu minggu ada email masuk, memberitahu kalau saya lolos,” ujar anak dari pasangan Monovan Sakti Jaya Kusuma dan Hening Budi Prabawati.
Setelah itu, Farrel pun menjalani tes wawancara untuk memastikan penelitian tersebut merupakan hasil asli miliknya. Hasilnya ia dinyatakan lolos dan mendapat kesempatan pergi ke kantor pusat Google Mountain View di California, Amerika Serikat pada 14 Februari 2017.
Berada di kantor Google selama hampir satu minggu, ia mempresentasikan penelitiannya di hadapan seluruh peserta dari berbagai negara yang lolos lomba penelitian tersebut. Farrel pun tercatat sebagai orang Indonesia satu-satunya yang lolos dalam lomba tersebut.
Selama di kantor Google, ia menceritakan banyak pelajaran yang didapat, salah satunya adalah keterbukaan dalam sharing mengenai penelitian dan saling memberikan masukan.
“Yang membuat saya tersentuh itu, banyak yang usianya baru 30 tahun sudah S-3. Saya tanya apa motivasinya sekolah cepat, ternyata mereka ingin cepat membagikan ilmunya untuk dunia. Semakin lama lulus, semakin lama pula membagikan ke dunia,” lanjutnya.
Hasil penelitian Farrel diketahui saat itu (2017) sudah digunakan, namun masih terus disempurnakan. Meskipun demikian, ia tetap diminta Google untuk bergabung dalam sebuah proyek untuk bekerja selama enam hingga tujuh bulan.
Karena masih berstatus pelajar SMA, ia akhirnya mencoba bekerja secara jarak jauh. Dalam proyek tersebut, Farrel mengembangkan algoritma khusus kompresi pada Google Photos. Diketahui pula, ia bekerja mulai pukul 22.00 WIB hingga 04.00 WIB.
Pada 2017, ia pun mencatat prestasi dengan menjuarai lomba penelitian ‘Blia Jakarta 2017 – Center for Young Scientist’. Dalam ajang ini, Farrel masih menjelaskan penelitian yang sama, yakni “Data Compression Using EG and Neural Network Algorithm for Lossless Data”.
Dengan menjuarai lomba penelitian tersebut, ia pun kerap memberikan tips kepada teman dan orang-orang disekitarnya. Farrel mengungkapkan, selain bimbingan, dukungan dan doa restu kedua orang tuanya, ia memegang filosofi hidup yang diambil dari pitutur Jawa, yakni 5T (Takon, Teken, Teteg, Tekun, dan Tekan).
Memasuki 2018, ia dikenal sebagai pendiri sekaligus CEO startup kecerdasan buatan (AI) yang berfokus pada kompresi data internet bernama “Kecillin”. Aplikasi ini memiliki keunggulan mengkompresi data untuk menghemat kuota internet.
Sejak masa pandemi tepatnya Maret 2020, Farrel telah mengembangkan produknya layaknya Virtual Private Network (VPN), di mana ketika pengguna mengklik “On” pada aplikasi tersebut, akan dapat menghemat kuota internet dan mengembangkan fitur Kecilin Meet semacam Zoom, namun pengguna lebih hemat data hingga 60%.
Aplikasi “Kecilin” sendiri kini sudah tersedia di Google Apps Store dan tercatat telah diunduh sebanyak 100.000 pengguna dengan rata-rata 15.000 pengguna aktif tiap harinya. Dengan membangun perusahaan startup ini, Farrel juga telah mempekerjakan kurang lebih 35 karyawan dengan 115 pengembang yang bergabung.