Chairuni Aulia Nusapati merupakan perempuan asal Indonesia yang menjadi salah satu software engineer di Google Munich, Jerman. Ia memulai karirnya sebagai software engineer di Google Munich sejak dua tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2019.
Menjadi salah satu bagian dari Google memang menjadi impian bagi banyak orang. Pasalnya, Google merupakan salah satu perusahaan teknologi paling prestisius di dunia dengan gaji yang tinggi, fasilitas mewah dan koneksi yang luas.
Sebelum bekerja di Google, Chairuni Aulia Nusapati mengawali karirnya di Indonesia sebagai seorang software engineer untuk Tim Data Traveloka selama 2 tahun.
Perempuan yang akrab disapa Chai ini mengaku senang bekerja dengan Google karena menurutnya mereka sangat menghargai adanya perbedaan.
“Di kantor, sebenarnya saya adalah seorang minoritas (dari Asia Tenggara, Muslim, perempuan). Tapi di Google mereka percaya bahwa karena produk-produk mereka digunakan oleh semua orang di dunia, maka harus dibangun oleh berbagai macam orang dari seluruh dunia,” ujar Chai.
Sehingga dirinya meyakini bahwa Google merekrut pegawai dari seluruh dunia bukan untuk memenuhi sebuah kuota, tapi karena mereka percaya bahwa perbedaan akan membawa sudut pandang yang inklusif.
Chai juga mengaku dapat sistem kerja yang digunakan dapat membuatnya berkontribusi untuk inovasi lain di luar pekerjaan kantor.
“Di Google, ada sistem “80-20”, dimana 80% waktu kerja kita harus dipakai untuk bekerja sesuai peran kita, sedangkan 20% waktu kita harus digunakan untuk kontribusi inovatif. Disinilah banyak inovasi terjadi yang diawali dengan proyek iseng. Senangnya, kebiasaan ini didukung oleh kantor,” jelasnya.
Sebagai software engineering perempuan, dirinya menanggapi tentang keberadaanya dalam sektor yang biasanya dikuasai oleh laki-laki tersebut. Kebanyakan software engineering di seluruh dunia memang belum menjadi ranah perempuan.
“Menurut saya, masalah utama yang dialami oleh software engineer perempuan adalah kurangnya dukungan dari komunitas,” kata Chai.
Sehingga dirinya mengharapkan lebih banyak adanya role model (panutan) perempuan dalam profesi software engineering. Karena selama ini ia merasa kesulitan mencari panutan software engineer perempuan. Sosok role model itu belum bisa ia temukan dalam bidangnya, jadi membuatnya bingung dalam mengambil keputusan karir.
Salah satu alasan Chai memilih untuk bergabung dengan timnya di Google Munich adalah karena bosnya adalah perempuan, dimana hal itu masih sangat jarang.
“Makanya, untuk para engineer perempuan, mari kita membantu junior-junior kita dengan menjadi panutan buat mereka,” ujarnya.
Menurut Chai saat ini adalah waktu yang tepat untuk menjadi software engineer perempuan karena komunitas internasional sudah mulai sadar atas ketidaksetaraan yang ada. Jadi, mulai banyak acara komunitas dan posisi engineer yang memang dikhususkan untuk perempuan.
Lalu, ia menambahkan agar pemuda lainnya untuk tidak takut ke luar negeri, karena hal yang dikerjakan di computer science sebenarnya sama saja. Skills yang dibutuhkan di Indonesia dan di luar negeri sama saja. Jadi, selama kita mempersiapkan diri dengan baik, semuanya mungkin-mungkin saja.
Sebagai motivasi terakhir darinya, ia menyampaikan, saat mengejar mimpi jangan memakai ‘kacamata kuda’ sehingga kita terlalu fokus pada mimpi tersebut, dan tidak melihat kesempatan-kesempatan lain yang sama baiknya.