Umumnya kain kafan identik dengan suasana kelam pemakaman dan untuk membungkus jenazah. Namun di tangan terampil seorang perancang, busana dari kain kafan bisa menarik perhatian penggemar fesyen unik dan cantik. Produk kreasi paduan kain kafan dari Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, ini juga diminati banyak konsumen Eropa.
Adalah Yuyun Nailufar, seorang “pesulap” andal yang berhasil mengubah citra kain kafan yang cenderung menakutkan menjadi beragam bentuk fesyen bernilai lebih. Desainer asal Jeneponto, Sulsel, ini mengolah kembali kain kafan Jeneponto yang khas dan disebut juga kain tope.
Sebagai warga pendatang dari luar Sulsel, Yuyun mula-mula mengenali karakteristik kain tope. Ternyata berbeda dari kain kafan pada umumnya, Sob, kain kafan khas daerah Jeneponto ini mengandung serat-serat kapas.
Melansir The Finery Report, kain tope juga punya ciri khas berongga. Ia dibentuk dengan cara menenun bahan kapas asli. Inilah yang membuatnya punya daya tarik dan bernilai jual.
“Ia juga adem karena berlubang-lubang, nggak rapat, tapi juga lembut. Tapi kalau belum kena detergen ia akan kaku, kalau sudah agak lama nanti akan menjadi lemas. Teksturnya juga bagus,” terang Yuyun.
Tenun Tradisional
Untuk menghasilkan selembar kain tope harus melalui proses tenun secara tradisional oleh para perajin lokal Jeneponto. Menurut Yuyun, keaslian kain tope menjadi bekal utama untuk berhasil dikembangkan sebagai produk fesyen berkualitas. Bahkan tak jarang Yuyun membeli kain tope yang disimpan oleh warga Jeneponto.
“Kain kafan tersebut hanya akan menghasilkan hasil akhir yang bagus jika dibuat menggunakan benang yang berasal dari kapas asli, bukan sintetis,” ucapnya.
Baginya, dengan menggunakan bahan kain asli, dia juga dapat memberdayakan masyarakat sekitar di Jeneponto. Bahan kain tope rata-rata dibelinya seharga Rp750 ribu per meter.
Diminati Pembeli dari Eropa
Awal mula Yuyun tertarik berinovasi membuat koleksi pakaian berbahan kain kafan setelah disarankan seorang desainer senior, Itja Ahmad, pada 2016. Yuyun sempat tak yakin dengan saran itu. Dia baru mantap untuk mencoba setelah melihat langsung kain kafan asal Jeneponto dari dekat saat datang melayat saudara pegawainya.
“Saat itu saya melihat langsung kainnya dari dekat dan ternyata memang bagus. Itu saya pertama kali lihat kainnya di tahun 2016. Saya pikir sayang kalau kain ini hanya dipakai untuk bungkus mayat,” ujarnya.
Atas saran Itja dan bimbingan pembuatan proposal untuk disampaikan ke dinas pemda, Yuyun yang mengembangkan Rumah Jahit Mama Ay semakin yakin untuk dapat memanfaatkan kain tope.
Di kemudian hari, kain tope diolah menjadi berbagai macam produk. Kesan mistis menjadi hilang seketika setelah kain pembungkus mayat tersebut dipadukan dengan jenis kain lain serta sematan payet yang indah dan disulap menjadi pakaian.
Beberapa produk yang telah dihasilkannya berbahan kain tope tersebut di antaranya baju bodo, gaun, tas, kipas, jaket bomber, hingga produk rumah tangga.
Namun perjalanan Yuyun selanjutnya mengenalkan produk fesyen berbahan kain kafan tidaklah mudah. Beberapa kali dia menerima penolakan, bahkan dari pejabat pemerintah daerah setempat.
Namun Yuyun pantang menyerah. Dia terus giat mengikuti berbagai pameran fesyen yang digelar di Makassar, Sulsel. Dalam pameran produk kerajinan Inacraft pada 1–5 Maret 2023 lalu, busana dari kain kafan tope buatannya laku seharga Rp1,7 juta.
Dengan tekstur yang lebih berongga, pakaian dari kain tope akan terasa lebih sejuk.
Hal ini karena tiap benang dalam jahitannya tidak dibuat rapat seperti pakaian pada umumnya. Kekhasan ini ternyata menggaet minat pecinta fesyen dari berbagai negara lain, antara lain Malaysia, Norwegia, dan Swedia.
Kita salut banget dengan rancangan busana dari kain kafan ini, ya, Sob!