Pertama kali meluncur ke publik pada 2018, buku Filosofi Teras telah menjadi salah satu bacaan terlaris dan banyak diperbincangkan. Dengan mengupas prinsip filsafat Stoisisme dan penerapannya dalam beragam aspek kehidupan, buku karangan Henry Manampiring ini hadir menjadi salah satu pegangan hidup masyarakat menghadapi beragam masalah modern.
Gak mengherankan, Sob, Filosofi Teras digemari banyak pembaca di seluruh Indonesia, bahkan luar negeri. Raihan pembaca berjumlah besar ini telah dibuktikan dengan keberhasilannya sebagai buku dengan angka penjualan terbanyak atau mega best seller. Tahun ini, buku Filosofi Teras memasuki edisi cetakan ke-50 dan telah terjual lebih dari 300.000 eksemplar.
Artinya, selain diminati banyak pembaca buku, Henry Manampiring selaku penulisnya terpanggil untuk terus memperbarui isi buku karyanya. Khususnya dalam cetakan terbaru ke-50 ini, dia menambahkan bab baru mengenai Stoisisme dan Tahun Politik. Adapun di cetakan ke-25 pada 2021, dia telah menyertakan catatan tentang menyikapi situasi pandemi.
Lalu, stoisisme itu apa, sih, Sob?
Secara ringkas, stoisisme merupakan aliran filsafat yang mengusung kebahagiaan dengan cara melepaskan diri dari emosi atau perasaan mengganggu. Di dalam buku ini, Henry memaparkan secara rinci bagaimana menerapkan prinsip Stoisisme atau Stoa secara praktis dalam keseharian.
Dalam perbincangan tentang buku ini, Minggu (17/9/2023) lalu, Henry mengungkap empat keutamaan sikap yang dapat memandu perilaku manusia menjadi lebih tenang dan damai.
Keutamaan ini tidak hanya dapat diterapkan untuk persoalan ringan keseharian hidup, tapi juga dalam isu yang lebih luas dan kompleks.
Apa saja, Sob?
Pertama, wisdom atau bijaksana dalam memilih. Kedua, courage atau berani percaya pada kebenaran. Lalu keutamaan ketiga ialah ugahari atau kontrol diri, yang dilengkapi dengan prinsip keadilan.
Seperti dituliskan dalam buku ini pada halaman 232, Stoisisme sangat menekankan pengembangan kualitas karakter di dalam diri. Nah, karakter diri itu harus mengacu pada keempat keutamaan tersebut.
Henry mencontohkan, terhadap beragam berita di media sosial atau kabar terbaru yang menyebar lewat grup WhatsApp keluarga, kita bisa berlatih untuk tidak merasa harus menanggapinya.
Rasionalitas Sebagai Kompas Hidup
Dalam diskusi yang digelar di Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, itu, hadir jurnalis senior Tempo, Qaris Tajudin, dan rohaniman sekaligus pengajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, A. Setyo Wibowo. Menyinggung perspektif Stoisisme, Qaris mengkritisi, pandangan Stoa yang memandu perilaku manusia untuk lebih menggunakan rasionalitas atau akal sehat bertentangan dengan pola pendidikan di Indonesia.
Menurut Qaris, baik dalam pengajaran di sekolah ataupun agama, kita telanjur dibiasakan untuk meyakini suatu pandangan, ketimbang menguji kebenarannya. Hal ini diamini oleh Henry, bahwa Stoisisme merupakan perangkat cara berpikir yang mengutamakan cara berpikir rasional, salah satunya menimbang konsekuensi dari prinsip atau sikap yang kita yakini benar untuk dilakukan.
Maka dalam menyambut riuh perpolitikan jelang pemilu 2024, Henry menyarankan keaktifan pembaca untuk dengan aktif dan rasional mengecek rekam jejak calon pemimpin.
“Lebih dari sekadar kesamaan agama, misalnya. Jangan memilih secara emosional, tapi rasional,” ucap Henry.
Begitu pun menurut Qaris. Cara memilih kandidat pemimpin secara rasional, kata dia, dapat dijalankan dengan memilih yang paling sedikit keburukannya. Selain merespons beragam dinamika politik dengan tetap bersikap tenang, Qaris menyarankan agar publik sebaiknya tidak memilih abstain atau golput.
“Kita tidak memilih yang terbaik dalam pemilu, tapi yang menurut kita saat ini keburukannya paling sedikit. Janganlah berekspektasi terlalu banyak. Kita membela proses demokrasi, bukan membela personal calonnya,” kata Qaris.
Sementara itu, Setyo menekankan bahwa dalam sistem politik demokratis di Indonesia, ruang penyampaian aspirasi dan kritik jauh lebih terbuka. Hal ini perlu dimaksimalkan sebagai upaya untuk mengontrol beragam potensi penyimpangan yang berlangsung di berbagai lini kehidupan bangsa. Dia menilai, beragam persoalan di Indonesia disebabkan pendidikan moral yang mengedepankan rasional tidak diterapkan sejak dini.
Ditulis dari proses perenungan Henry Manampiring setelah mengalami kondisi tekanan mental berat, buku Filosofi Teras mengungkap pentingnya menerapkan filosofi teras atau Stoisisme. Dalam 15 bab isi buku ini, Sobat akan dapat menyimak secara mudah dan menarik penerapannya untuk beberapa isu, antara lain memandang kematian sanak saudara, menyikapi musibah, memutus hubungan dari lingkungan toksik, pengasuhan anak (parenting), dan hiruk-pikuk tahun politik.
Buku edisi terbaru terbitan Penerbit Buku Kompas ini bisa kamu dapatkan di toko buku Gramedia terdekat, Sob! Selamat mengembangkan kebijaksanaan baru.