Selain orang Indonesia itu sendiri, mungkin manusia di dunia ini yang paling mencintai orang utan adalah Prof. Dr. Biruté Mary Galdikas, pendiri Orangutan Foundation International (OFI) yang berfokus pada upaya perlindungan terhadap populasi orang utan.
Seperti yang kita ketahui, orang utan masuk ke dalam daftar satwa dilindungi karena satwa yang cuma tinggal di 2 negera yaitu 90% di Indonesia dan 10% di Malaysia memiliki status critical engdangered (CR) dari lembaga konservasi internasional, IUCN.
Sekilas Orang Utan
Kera besar yang satu ini memiliki 96,4% gen yang mirip dengan manusia dan juga merupakan mahluk yang sangat cerdas. Mungkin, yang membedakannya dengan manusia, mamalia terbesar ini mempunyai tubuh dengan bulu warna merah yang khas dan kebanyak hidup di pohonan dalam hutan, memanfaatkan lengan panjang dan kaki tangan yang kuat.
Namun tak seperti monyet, kera besar yang satu ini justru hidup menyendiri jika sudah dewasa. Mereka membuat sarang di pohon untuk tidur dan kerap beristirahat di siang hari.
Ada 2 spesies orang utan yang umumnya diketahui yaitu Bornean orangutan dan Sumatran orangutan. Perbedaan orang utan Sumatra dengan orang utan Kalimantan yang paling kentara terletak pada warna bulu, ukuran tubuh, dan bentuk wajah. Orang utan Sumatra memiliki warna bulu yang lebih terang, ukuran tubuh lebih kecil dan bentuk wajah lebih lonjong dibanding orang utan Kalimantan.
Kedua spesies tersebut mengalami penurunan populasi yang tajam. Satu abad yang lalu mungkin ada lebih dari 230.000 orang utan secara total. Sekarang orang utan Kalimantan diperkirakan berjumlah 104.700 dengan status Terancam Punah dan orang Sumatra sekitar 7.500 dengan status Sangat Terancam Punah.
Dan baru di tahun 2017, teridentifikasi satu lagi spesies orang utan yaitu Tapanuli orangutan. Namun, spesies satu ini juga yang paling terancam punah dari spesies lain dengan populasi hanya ada 800.
Kiprah Prof. Dr. Biruté Mary Galdikas
Prof. Dr. Biruté Mary Galdikas adalah perempuan kelahiran Jerman, 10 Mei 1946. Diusianya yang sekarang menginjak 76 tahun, lebih dari setengahnya atau sudah 51 tahun dihabiskan untuk mengabdi pada pelestarian orang utan di Indonesia.
Mengutip dari VOA Indonesia, Biruté Mary Galdikas, pertama kali tiba di Indonesia pada tahun 1971, sebelumnya selama 6 bulan mempelajari orang utan tanpa henti, di kebun binatang Los Angeles.
Dr. Biruté Mary Galdikas juga menyukai binatang lain, namun saat memaparkan ke VOA Indonesia, dirinya mengaku ada sesuatu yang membuatnya lebih mendekati orang utan.
“Kalau kita mengamati mata orang utan, mata mereka persis seperti mata manusia. Mata orang utan hampir semua punya iris (lingkaran di bola mata) yang coklat dan di keliling iris warnanya putih seperti manusia. Juga kalau orang utan melihat kita, sepertinya mereka paham dan tertarik pada jiwa kita juga,” tukas Biruté.
Kepada Sierra, Biruté juga memberikan keterangan yang senada, “I’ve always felt I was born to study orangutans,” atau yang jika diartikan “Saya selalu merasa dilahirkan untuk mempelajari orang utan,”
When those red-haired apes look at you, it’s like “they’re looking straight through you into your very soul.” – Biruté Mary Galdikas
Awal kedatangannya di Indonesia, Biruté mendirikan program penelitian dan konservasi orang utan yang bernama Camp Leakey. Lalu beberapa tahun setelahnya, ia membentuk Orangutan Foundation International (OFI) tepatnya di Amerika pada 1986. Baru 10 tahun kemudian OFI didirikan di Indonesia, tepatnya di Pangkalan Bun, di dekat Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah.
Orangutan Foundation International diketahui menjadi pusat perawatan atau care center orang utan yang menangani berbagai kasus, seperti orang utan yang terkena konflik dengan manusia, maupun bayi orang utan yang kehilangan induknya. Selain itu, care center memiliki dokter-dokter hewan berkompeten untuk merawat orang utan hingga para relawan yang menangani berbagai pekerjaan.
View this post on Instagram
Tak hanya merawat orang utan, yayasan OFI juga merawat hutan di Kalimantan, di mana merupakan habitat populasi orang utan.
“Kami menanam pohon asli, memulai menanam bibit sejak tahun 2017. Sejak itu sudah menanam 375.000 bibit sampai akhir tahun 2020,” ujar Biruté.
Hasilnya, dari upaya Dr. Biruté bersama yayasan OFI dan juga masyarakat sekitar, kini TN Tanjung Puting menjelma sebagai rumah orang utan terbanyak di dunia. 5.000 orang utan hidup di sana.
Kisah inspiratif Dr. Biruté dalam pengabdiannya untuk satwa orang utan di Indonesia sudah membawanya meraih ragam penghargaan. Penghargaan Kalpataru di Indonesia hingga penghargaan bergengsi dunia seperti PETA Humanitarian Award, United Nations Global 500 Award Tyler Prize for Environmental Achievement, dan lainnya menjadi bukti pengabdian Dr. Biruté.
Kini Biruté Mary Galdikas tak hanya menjadi petinggi di yayasan OFI yang dibuatnya, namun juga menjadi Profesor Extraordinaire di Universitas Nasional di Jakarta dan juga Full Professor di Simon Fraser University in British Columbia, Canada.
Terima kasih atas jasamu, Prof. Dr. Biruté Mary Galdikas. Kisahmu memberikan inspirasi nyata kepada kami. 🙏🙏