Di daerah Makassar, Sulawesi Selatan ada salah satu kuliner tradisional bernama barongko. Tahukah kamu, pada zaman dahulu barongko kerap kali dihidangkan sebagai makanan penutup para raja pada masa kerajaan, loh. Bagaimana sejarahnya?
Mulanya barongko berasal dari Kerajaan Gowa, sebuah kerajaan terbesar di masa lampau. Konon, dahulu menu ini biasa disajikan sebagai makanan penutup untuk para raja.
Dahulu kala barongko nggak bisa dibuat oleh sembarang orang, loh. Sebagai hidangan penutup raja, makanan ini hanya bisa dibuat oleh orang yang sudah ahli. Alasannya agar kualitas dan cita rasa otentik barongko dapat dipertahankan.
Seiring perkembangan zaman, barongko sudah tak lagi menjadi hidangan penutup raja. Bahkan kini seluruh masyarakat, terutama yang berada di Makassar bisa menikmati barongko. Sampai-sampai sejumlah tempat seperti hotel dan kafe turut menyediakan menu makanan tradisional ini.
Selain menjadi makanan penutup para raja, di zaman sekarang barongko dihidangkan untuk beberapa momen tertentu. Mulai dari pernikahan, pengajian, khitanan, mappanre temme, akikah, dan upacara adat.
Sobat, ternyata barongko bukan sekadar nama, loh. Makanan ini diambil dari sebuah singkatan Barangku mua udoko, artinya barang yang dibungkus sendiri. Bagi masyarakat Bugis kudapan ini punya filosofis tersendiri. Apakah itu?
Mulai dari membungkus barongko diibaratkan sebagai siri atau harga diri. Seperti yang diketahui, suku Bugis terkenal dengan memegang teguh prinsip harkat dan martabat untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Daun pisang untuk membungkus barongko juga dilambangkan sebagai keharmonisan dan keselarasan dalam bertindak, baik di keluarga maupun di masyarakat. Makanya inilah alasannya mengapa kudapan barongko wajib dibungkus menggunakan daun pisang dan nggak bisa diganti dengan pembungkus lain.
Selain itu, menurut sumber lain jika ada penambahan irisan nangka (panasa) ke dalam adonan barongko bisa juga dimaknai dengan pengharapan akan kelanggengan rumah tangga. Adapun pemaknaan ini diambil dari salah satu pepatah suku Bugis, yaitu iyyana kuala sappo unganna panasae na belo kalukue, artinya kuambil kejujuran kesucian sebagai pagar diri dalam rumah tangga.
Kini, camilan pernah menjadi makanan penutup para raja ini telah terdaftar sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia lewat SK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan nomor 60128/MPK.E/KB/2017.