Teknologi digital menawarkan kemudahan, tapi juga ancam kebebasan pers? Sobat, peringatan Hari Pers Nasional 2023 seakan menawarkan pertanyaan kepada insan pers: Apakah wartawan masih dapat bersikap independen dalam kungkungan era disrupsi media digital? Bagaimana seharusnya wartawan bersikap dan mau apa selanjutnya?
Bagi kamu, sadar nggak, sih, pola akses dan konsumsi informasi di masyarakat sudah banyak yang berubah? Ya, inilah era disrupsi yang mengantarkan kita ke dalam suasana perubahan drastis dalam produksi dan konsumsi media.
Sepuluh tahun lalu, muncul istilah “jurnalisme robot” yang dikhawatirkan akan menggeser bahkan menggusur peran jurnalis. Keberadaan mesin robot yang dimanfaatkan untuk memproduksi berita tampak dari sejumlah praktik pemberitaan: laporan hasil pertandingan olahraga, juga ringkasan pembacaan dinamika nilai saham di lantai bursa.
Tak hanya itu, kecerdasan buatan (artificial intelligent) yang mewadah dalam beragam medium telah menyentak perhatian sebagian besar pengguna gawai digital. Dalam satu genggaman saja, kita seakan puas mendapatkan beragam pesan dengan bermacam wujud: teks, gambar, audio, video, hingga film dan animasi cerah-ceria dengan variasi warta-cerita.
Bahkan generasi penduduk muda, khususnya generasi Z dan Alpha, tampak cakap dan tanggap sekali dengan teknologi yang menempel dengan perangkat digital. Mereka inilah yang bersemat sapaan “native digital” karena lebih banyak menerima informasi melalui platform media daring, media sosial, dan aplikasi-aplikasi komunikasi digital. Sementara generasi terdahulu… Hmmm…, mau tak mau turut dalam pola konsumsi serupa, walaupun sebagian tak jarang gagap dan gegar.
Tantangan di Era Disrupsi Digital
Nah, kembali ke pers atau media massa sebagai acuan informasi. Di tengah kebaruan yang terus-menerus hadir via penerapan keterampilan berkomunikasi nan canggih itu, pekerja perusahaan media (reporter, desainer, fotografer, videografer, hingga editor, redaktur, pemimpin redaksi, serta lini pemasaran di tingkat lebih atas) menghadapi kerumitan tantangan. Lagi-lagi, laju teknologi digital ancam kebebasan dan demokrasi pers Indonesia. Misalnya berikut ini, Sob:
Satu, andai-andai hanya memikirkan profit belaka, pembuatan berita berdasarkan ketentuan algoritma komputerisasi yang disalahgunakan telah mengancam dan menguji independensi serta objektivitas pemberitaan. Apakah wartawan tak dapat mengelak alih-alih tunduk yang bermakna “kalah” di muka logika teknologi jejaring internet? Tak bisakah pandangan lawas memegang loyalitas kepada kebenaran menjadi prasyarat utama penyampaian kabar untuk diyakini publik pembaca?
Dua, media massa konvensional atau arus utama seakan bersanding tapi sesungguhnya bertanding dengan media sosial. Masihkah mungkin wartawan media massa mendapatkan kepercayaan publik di tengah infomasi viral yang terbesar via medsos? Ataukah wartawan letoi-lunglai-lemas lalu terseret oleh kebiasaan khalayak kebanyakan dan mudah ternganga-nganga hingga abai pada akurasi dan verifikasi?
Terakhir, tapi mungkin tantangannya belum akan berakhir: Jempolmu harimaumu, Sob! Dalam sekali ketuk di layar gawai, kita akan lebih mudah terkejut saat menerima informasi. Penasaran, lalu terdorong gejala fear of missing out (FOMO), hampir setengah tak sadar kita merasa perlu menyebarkan suatu “berita” kepada orang banyak. Bisa jadi, pola laku kekinian ini juga kamu alami dan lakukan, kan, Sob?
Mungkin, beberapa dari kamu belakangan juga lebih memedulikan beraktivitas di social media daripada kehidupan nyata. Tak pelak, berbagi informasi via aplikasi percakapan digital terlampau mudah dan sering dilakukan, tanpa berpikir panjang lebih dahulu. Apakah info yang kita terima dari gawai itu sudah sahih kebenarannya? Apa dampaknya bila berita itu bohong, lalu disebarluaskan kepada orang lain?
Jika lengah dan termakan hoaks, alih-alih mendapat kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan, kita bisa-bisa malah terjerembap dan tersesat. Maka, literasi digital publik pun dipertaruhkan di tengah rimba persebaran informasi yang luber.
Semoga, peringatan Hari Pers Nasional tahun ini mesti dijadikan momentum refleksi dan evaluasi bagi para penggiat media. Siapkah kita semua, bersiaga dan selalu berpikiran terbuka dalam mencermati setiap berita yang kita baca, dengar, dan tonton?
Selamat Hari Pers Nasional, Sobat pers dan pembaca Sampai Jauh!