Masyarakat adat Dayak Iban Sungai Utik patut berbangga. Ketua Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik, Apai Janggut, baru-baru ini dinobatkan penghargaan kemanusiaan kelas internasional. Tepatnya, Apai Janggut dianugerahi Gulbenkian Prize for Humanity 2023 oleh Yayasan Calouste Gulbenkian di Lisabon, Portugal, Rabu, (19/7/2023)
Nggak hanya kepada perwakilan dari Indonesia, Gulbenkian Prize juga memberikan penghargaan bagi dua tokoh lain, yaitu Cécile Bibiane Ndjebet, campaigner dan agronomist dari Kamerun, dan Lélia Wanick Salgado, ahli lingkungan, perancang, dan skenografer dari Brasil.
Penghargaan Gulbenkian Prize telah diberikan langsung oleh Presiden Yayasan Gulbenkian António Feijó dan Angela Merkel selaku Ketua Juri Gulbenkian Prize for Humanity. Pemberian penghargaan dihadiri oleh Presiden Portugal Marcelo Rebelo de Sousa dan Perdana Menteri Portugal Antonio Costa.
Para pemenang Gulbenkian Prize ditetapkan oleh para juri yang diketuai oleh mantan kanselir Jerman, Angela Merkel. Berhasil mengalahkan 143 orang dari 55 negara sebagai nominator, ketiga tersebut orang terpilih berkat kepemimpinan dan kerja keras mereka selama puluhan tahun untuk memulihkan ekosistem penting berupa hutan, daratan dan ekosistem pesisir serta melindungi tanah dengan dan untuk kepentingan masyarakat lokal.
Adapun sosok Apai Janggut dikenal sebagai tokoh adat Dayak Iban yang berjuang selama lebih dari 50 tahun menjaga dan membela lingkungan di kawasan hutan Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Dengan gigih dan tak gentar dia menolak berkompromi dengan sejumlah ancaman penebangan liar, alih fungsi hutan, produksi minyak sawit, dan kepentingan perusahaan.
Apai Janggut selaku tuai rumah atau pemimpin seluruh kepala keluarga yang menghuni Rumah Panjang Sungai Utik bersama komunitas Adat Dayak Iban Sungai Utik memperjuangan hak atas tanah tradisional mereka selama lebih dari 40 tahun. Hingga akhirnya kabar baik pada tahun 2020, pemerintah Indonesia memberikan pengakuan dan kepemilikan tanah seluas 9.500 hektar kepada masyarakat Dayak Iban.
“Hutan adalah sumber hidup kami, yang sudah diturunkan oleh leluhur kami sejak dulu. Menjaga hutan adalah bagian dari budaya kami. Karena di dalam hutan tersebut terdapat ladang kami, tanaman obat, sungai, kuburan keramat leluhur kakek-nenek kami yang sudah meninggal yang harus kami jaga. Kami bangga, aksi kami ternyata bermanfaat bagi dunia,” ujar Apai Janggut.
Pemenang Gulbenkian Prize kemudian akan menerima hadiah yang ditujukan untuk mendukung keberlanjutan dan meningkatkan aksi kerja mereka bagi restorasi ekosistem dan mengatasi isu perubahan iklim, baik di tingkat tapak, nasional, maupun global.
Bagi masyarakat adat Dayak Iban Sungai Utik, hadiah dari Gulbenkian Prize akan digunakan untuk upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan persiapan generasi muda di masa depan.
“Selain itu juga untuk mengembangkan alternatif pendapatan jangka panjang seperti ekowisata dan PES (Payment Ecosystem Services),” imbuh Remang, Kepala Desa Batu Lintang, masyarakat Sungai Utik, yang turut mendampingi Apai Janggut saat menerima penghargaan Gulbenkian Prize for Humanity ke-4.
FYI, ini bukan penghargaan internasional pertama bagi pemimpin adat Dayak Iban Sungai Utik memiliki nama lain Bandi Anak Ragai. Sebelumnya, Apai Janggut pernah meraih penghargaan Equator Prize dari Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP).
Senyatanya, penghargaan kelas dunia ini membuktikan aksi masyarakat adat Dayak Iban Sungai Utik dalam upaya mitigasi perubahan iklim bermanfaat tidak hanya bagi masyarakat mereka sendiri, tapi juga negara dan dunia. Sungguh salah satu sosok dengan inspirasi nyata, ya, Sob!