Lagi-lagi warga Indonesia membuat bangga di kancah internasional, Sob. Kali ini seorang aktivis lingkungan asal Sumatra Utara, Delima Silalahi, mendapat penghargaan prestisius bagi aktivis lingkungan di tingkat akar rumput, yaitu Goldman Prize 2023.
Diumumkan pada Senin (24/4) lewat keterangan resmi pihak Goldman Prize, Delima Silalahi bersama lima aktivis lingkungan dari masing-masing benua mendapat penghargaan atas pencapaian dan kepemimpinan aktivis lingkungan akar rumput di seluruh dunia.
FYI, Goldman Environmental Prize adalah ajang penghargaan pertama di dunia bagi aktivis lingkungan di tingkat akar rumput yang pertama kali dirintis di San Francisco pada 1989 oleh pemuka masyarakat dan filantropis Richard dan Rhoda Goldman. Hingga kini, Goldman Environmental Prize telah memberi penghargaan kepada 219 pemenang, termasuk 98 perempuan dari 95 negara.
“Kini, ketika dunia menyadari krisis lingkungan akut, seperti perubahan iklim, ekstraksi bahan bakar fosil, dan pencemaran udara dan air, kita makin sadar akan hubungan kita satu sama lain dan terhadap semua kehidupan di planet,” ujar John Goldman, Presiden Goldman Environmental Foundation.
Selain Delima Silalahi yang mewakili Wilayah Kepulauan dan Negara Kepulauan, deretan pemenang Goldman Prize lainnya ialah Chilekwa Mumba dari Zambia mewakili Afrika, Zafer Kizilkaya dari Turki (Asia), Tero Mustonen dari Finlandia (Eropa), Diane Wilson dari Amerika Serikat (Amerika Utara), dan Alessandra Korap Munduruku dari Brasil (Amerika Selatan dan Amerika Tengah).
Perjuangan Delima Silalahi
Menjadi satu-satunya wakil dari wilayah kepulauan dan negara kepulauan di ajang Goldman Prize 2023, kiprah Delima Silalahi di bidang lingkungan sungguhlah besar.
Delima yang saat ini selaku Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) memimpin kampanye untuk mendapatkan hak pengelolaan sah terhadap 7.213,12 hektare tanah hutan tropis bagi enam kelompok masyarakat adat di Sumatera Utara. Mereka terdiri atas kelompok Pandumaan Sipituhuta, Nagasaribu Onan Harbangan, Bius Huta Ginjang, Janji Maria, Simenak-menak, dan Tornauli Aek Godang Adiankoting.
“Bagi kami, masyarakat Batak, tanah adalah identitas luhur kami. Kami berjuang untuk menjaga Ibu Bumi dan untuk melindungi identitas kami sebagai orang Batak,” ujar Delima.
Hasil perjuangannya berbuah manis kala Februari 2022 pemerintah akhirnya memberikan hak pengelolaan sah atas 7.213 hektare hutan adat kepada enam kelompok masyarakat Tano Batak. Mereka berhasil merebut kembali tanah dari perusahaan pulp dan kertas yang telah mengubah sebagian lahan ini menjadi hutan tanaman industri eukaliptus yang bukan merupakan tanaman asli dan dikembangkan secara monokultur.
Akhirnya kelompok masyarakat adat ini kembali memulai restorasi hutan sehingga menciptakan serapan karbon berharga di hutan tropis Indonesia, dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi.
“Saya sangat gembira walaupun saya sadar bahwa ini bukanlah perjuangan saya sendiri. Ini adalah kemenangan buat gerakan masyarakat adat di Indonesia. Perjuangan hak atas tanah, hak atas identitas kita itu tidak turun dari langit. Itu diperjuangkan,” tandas Delima.
Sebelum Delima, beberapa orang Indonesia juga pernah menyabet penghargaan Goldman Prize adalah Loir Botor Dingit (1997), Yosepha Alomang (2001), Yuyun Ismawati (2009), Prigi Arisandi (2011), Aleta Baun (2013), dan Rudi Putra (2014).