AIR, anugerah cuma-cuma dari Sang Pencipta ini masih memiliki segudang permasalahan krusial di tengah-tengah masyarakat. Setiap permasalahan ini bisa menumpuk serta menjadi ‘bom waktu’ apabila dihiraukan dan menjelma sebagai ancaman bagi kita manusia. Penyebabnya bukan hanya berasal dari alam seperti perubahan iklim yang menyebabkan kekeringan di hulu, akan tetapi ada bahaya kontaminasi di hilir. Sadarkah Sobat?
Bahkan, ibu kota Indonesia yakni Jakarta memiliki tingkat pencemaran air sungai yang masih tinggi. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2021, dari 13 aliran sungai yang melintasi Jakarta, 59% di antaranya berada dalam kondisi tercemar berat.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) DKI Jakarta juga mengungkapkan beberapa faktor penyebab tercemarnya sungai yang seharusnya bisa menjadi sumber air minum. 72,7% pencemaran sungai berasal dari limbah domestik atau pemukiman, limbah perkantoran menyumbang 17,3%, dan 9,9% sisanya berasal dari limbah industri.
Limbah domestik masih mendominasi sebagai “biang kerok” yang membuat air sungai tercemar bakteri e-coli yang berasal dari “pembuangan akhir” kita. Selain itu, air sungai juga terpapar logam berat yang mayoritas berasal dari proses industri baik skala besar maupun kecil.
Dari beberapa data dan fakta yang disebutkan di atas, muncul sebuah pertanyaan, mengapa limbah domestik bisa menguasai sungai-sungai di Jakarta? Melansir berbagai sumber, salah satu penyebabnya adalah kepadatan permukiman masyarakat di bantaran sungai atau Daerah Aliran Sungai (DAS). Rumah-rumah tersebut “merampas” wilayah sungai dan menjadikan sungai sebagai “tempat sampah”.
Pihak Perumahan dan Permukiman BAPPENAS mengungkap fakta bahwa dari 63.256 kelurahan di Indonesia yang berlokasi di tepi sungai, 26% di antaranya memiliki permukiman di sepanjang wilayah bantaran sungai.
Bahkan ada fakta menarik lainnya, Sob. Pembangunan permukiman kumuh di bantaran sungai tetap marak terjadi karena telah menjadi tradisi turun-temurun! Selain tradisi, 60% dari jumlah penduduk perkotaan Indonesia terpaksa mencari lokasi tempat tinggal termudah untuk diakses baik secara legal maupun ilegal akibat terbatasnya lahan di perkotaan.
Padahal ada bahaya tak kasat mata menghantui kesehatan masyarakat apabila tinggal dan menetap di bantaran sungai tanpa pengetahuan sanitasi atau pengolahan limbah domestik yang aman. Salah satunya adalah bahaya mengonsumsi air dari sungai yang telah terkontaminasi tinja dan jenis limbah lainnya.
Bahaya mengintai dan siap menerkam masyarakat. Namun, apakah di tengah ancaman tersebut, masyarakat tidak berhak mendapatkan air bersih yang kita sebut air minum aman yang layak?
Semua masyarakat layak serta pantas mendapatkan fasilitas air minum aman dan sanitasi bersih yang dibantu oleh pemerintah, sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59 Tahun 2021.
Namun, fakta lapangan menyajikan hasil yang berbeda. Menurut data Hasil Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga (SKAMRT) 2020 yang dilakukan Kementerian Kesehatan bersama Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa capaian akses air minum aman baru berada di angka 11,9% dan 40,8% masyarakat pengguna sarana air minum bersumber dari air tanah.
Data tambahan Kementerian PUPR juga mengungkapkan fakta, baru 21% penduduk Indonesia yang bisa mengakses air bersih dari sarana air minum perpipaan. Untuk di ibukota sendiri, tercatat 62% penduduk Jakarta telah memperoleh akses terhadap air bersih. Namun, ternyata baru mencapai 39%.
Sedangkan untuk pengolahan tinja dengan sanitasi yang aman, baru mencapai 7,25% dengan angka Buang Air Besar Sembarangan (BABS) sebesar 5,69% berdasarkan data Susenas BPS yang diolah Bappenas tahun 2021.
Angka-angka ini tentu jauh dari capaian dan komitmen yang ditentukan oleh negara. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, dengan tenggat waktu setahun lagi, RI punya target untuk mencapai 100% akses air minum layak termasuk sasaran 15% air minum aman, 90% akses sanitasi layak dan 15% akses sanitasi aman.
Sanitasi aman dan air minum bersih. Kedua aspek tersebut menjadi prasyarat penting untuk memastikan transisi menuju ekonomi hijau dan ramah lingkungan, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat.
Akan tetapi, siapa penanggung jawab atas pemenuhan hak seluruh masyarakat Indonesia untuk mendapatkan air minum dan sanitasi yang aman? Apakah sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Indonesia? Atau masyarakat yang seharusnya melek dan mengetahui pentingnya isu yang urgen untuk diselesaikan ini?
Salah satu yang berkomitmen dan peduli terhadap upaya pengelolaan sumber daya air, perubahan perilaku higienis guna meningkatkan akses air dan sanitasi aman, adil dan setara datang dari USAID Indonesia.
USAID sendiri merupakan program Pemerintah Amerika Serikat untuk membantu kesejahteraan negara mitra yang menjalin hubungan dengan AS, termasuk Indonesia. Salah satu yang menjadi titik fokus USAID adalah air dan sanitasi.
Melalui IUWASH Tangguh, USAID Indonesia bertugas membantu pemerintah RI untuk melakukan berbagai upaya dan strategi advokasi serta promosi, bukan cuma air dan sanitasi namun juga mendorong perilaku higienis serta pengolahan sumber daya air yang erat kaitannya dengan pasokan air minum masyarakat.
Meski belum lama berdiri, USAID IUWASH Tangguh telah menjalankan beberapa program kolaborasi lintas sektoral. Tidak hanya dengan pemerintah namun juga pihak swasta, media, dan semua lapisan masyarakat.
Namun, mewujudkan cita-cita mulia semua itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Social Behavior Change Lead USAID IUWASH, Ika Fransisca mengungkapkan masih ada kendala yang dijumpai pihaknya saat berada di lapangan.
“Kalau dari masyarakat, sih, karena masih belum banyak yang aware ya, aware bahwa ini penting, bahwa ini haknya dengan berbagai macam alasan. Pemerintah sendiri, sepanjang pengetahun saya ya, jadi kaya bingung juga,” urai Ika.
“Beberapa waktu lalu pemerintah menggelontorkan dana yang cukup besar untuk tangki antiseptic tapi masyarakat ga mau pake gitu. Terus ada IPAL komunal ga mau tersambung. Pipa air minum PDAM ada yang sudah tersambung, eh, diputus karena nggak suka dengan aromanya (klorin),” tambahnya.
Tentunya kita tidak bisa menyamaratakan semua masyarakat nggak peduli dan tertutup kesadarannya akan perilaku hidup bersih serta sehat. Sebagaimana yang terjadi di RW 10, Kelurahan Tebet Timur, Jakarta Selatan telah terwujud sebuah kolaborasi antara masyarakat, pemerintah daerah, sektor swasta beserta USAID dalam memprakarsai pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) baik pribadi maupun komunal.
Pada Rabu (5/10/2023), USAID IUWASH Tangguh menggelar acara Susur Kampung di RW 10, Kelurahan Tebet Timur serta mengajak pemerintah lokal dan rekan-rekan media massa termasuk Sampaijauh.com guna melihat langsung IPAL Komunal yang telah terbangun dan dirawat oleh masyarakat setempat.
Ketua RW 10, Jajang menceritakan lika-liku perjalanan panjang dalam pembangunan IPAL komunal di wilayahnya hingga berdiri pada 2018. Bahkan, dirinya baru memperoleh informasi pentingnya IPAL saat 2016.
“Informasi IPAL itu saat 2016 itu kami belum tahu ya. Masyarakat membuang kotoran ke kali udah nggak merasa berdosa karena gampang gitu kan. Saya waktu itu diundang untuk penyuluhan masalah IPAL.Sehingga pengetahuan tentang IPAL itu apa sedikit-sedikit sudah mengetahui dan akhirnya kita tularkan kepada warga. Bahwa ternyata membuang kotoran ke kali itu banyak bahayanya lah dari e-coli dan lain-lain,” ungkap Jajang.
Meski pernah gagal dalam wacana pembangunan IPAL, masyarakat RW 10 mendapatkan bantuan dari beberapa pihak seperti puskesmas, sanitarian, dan perusahaan swasta sampai penentuan titik untuk membangun IPAL di wilayah mereka.
Sampai saat ini, terdapat 12 rumah dengan total 120 jiwa yang tersambung IPAL Komunal di RW 10, Tebet Timur. Selain itu, ada juga warga yang membuat IPAL sendiri yang difasilitasi oleh pihak Universitas Indonesia karena menyiasati ketiadaan lahan. IPAL buatan warga ini bisa menjangkau 8 rumah.
“Untuk merasakan dampaknya karena kita cuma melakukan hal kecil, ya, belum terasa karena masih banyak PR tetangga kita yang disini dan disana masih berperilaku sama,” ujar Susanto, Ketua RT 08/RW 10.
Sekarang pekerjaan rumah yang besar ada di depan mata kita semua. Pemerataan air bersih dan sanitasi yang aman menjadi sebuah urgensi yang harus kita maksimalkan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Cerita di kelurahan Tebet Timur hanyalah kepingan kecil dari sebuah kenyataan bahwa Jakarta masih sebatas etalase metropolitan yang menonjolkan gegap gempita ibukota dan gedung tinggi yang menjulang, namun memiliki sederet isu permasalahan yang telah lama mengakar. Tentu, isu ini sepatutnya menjadi perhatian semua pihak terkait.
USAID IUWASH Tangguh sendiri berkomitmen untuk mendukung 1,5 juta orang mendapatkan akses air minum aman serta 1 juta orang mendapatkan akses sanitasi aman yang dilakukan melalui dukungan pengelolaan sumber daya air, perbaikan perilaku dan peningkatan partisipasi semua pihak, termasuk perempuan, lansia, penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya.
Tentu, baik pemerintah maupun USAID IUWASH Tangguh tidak bisa berjalan sendirian. Butuh bala bantuan dari berbagai pihak—seperti masyarakat atau media massa—untuk membentuk persepsi publik agar isu ini terdengar di ruang-ruang publik sehingga dapat menjadi kesadaran kolektif.
Sobat Sampai Jauh, yuk, ikutan peduli dengan isu air minum, sanitasi, perilaku hygiene dan pengelolaan sumber daya air bersih. Caranya gampang, kok. Kamu bisa mulai mengidentifikasi diri kamu sendiri, Sob. Apakah kamu sudah memiliki akses sanitasi yang aman, melakukan sedot WC selama 3–5 tahun sekali, memastikan air minum yang dikonsumsi aman hingga melakukan dan menyebarkan perilaku higienis kepada sesama. Karena, kalau nggak dimulai dari kita, siapa lagi Sob?