Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mewanti-wanti kemungkinan pertumbuhan sektor industri otomotif di dalam negeri tidak segera melesat. Meski gaung kendaraan listrik dan upaya pengembangan industri otomotif di Indonesia mengundang banyak investor dari luar negeri, setidaknya ada lima penyebab usaha otomotif bisa seret dan melambat.
Ketua Apindo Shinta Kamdani menuturkan, teknologi di sektor otomotif memerlukan ketelitian dan kapasitas mumpuni para pekerjanya. Shinta menyebutkan, hal itulah yang tampaknya masih luput diperhatikan di tengah gembar-gembor dorongan pemajuan industri kendara di Indonesia.
Lalu, bagaimana sebaiknya pemerintah menjalankan perannya? Apa saja masalah di bidang industri otomotif Tanah Air? Simak uraiannya di bawah ini, Sob!
Iklim Usaha Kurang Menjamin Kepastian
Kabar masuknya produsen unit kendara dari Vietnam, VinFast, ke Indonesia meniupkan angin segar penambahan penerimaan investasi. Vinfast diharapkan akan makin memajukan sektor kendaraan listrik di Indonesia.
Namun, menurut Shinta, iklim usaha pada sektor manufaktur di Indonesia masih kurang kondusif. Hambatan ini dikhawatirkan dapat mengganggu potensi penerimaan investasi langsung asing (foreign direct investment/FDI) di Indonesia. FDI, kata Shinta, seringkali masih terkendala iklim industri manufaktur otomotif Tanah Air yang kurang stabil.
Shinta Kamdani menilai, kehadiran VinFast akan memberikan berbagai keuntungan untuk Indonesia. Namun, bila iklim usaha manufaktur belum kondusif, nilai investasi yang besar akan kurang terserap baik bagi kebutuhan pasokan input produksi.
Dia menjelaskan, industri manufaktur selama ini mencakup input produksi yang banyak dan kompleks. Adapun tidak semua komponen bisa diproduksi secara kompetitif di Indonesia sehingga pelaku industri otomotif dalam negeri harus mengimpor agar usaha bisa berjalan baik dan kompetitif di pasar.
Banyak Batasan Pasokan Kebutuhan Impor
Terkait itu, seperti dilansir Kontan, masih banyak tantangan lain yang harus diperhatikan dan dibenahi pemerintah. Tidak jarang ditemui halangan bagi kelancaran rantai pasokan impor untuk industri manufaktur.
Hal ini disebabkan proses impor kebutuhan input produksi di Indonesia banyak dibatasi. Padahal, kata Shinta, Indonesia diuntungkan dengan kemudahan memperoleh acuan pengganti komponen yang sepadan dengan kebutuhan di dalam negeri. Sayangnya, pembatasan itu membuat aliran pasokan impor menjadi tidak efisien bagi perusahaan atau calon investor.
“Di saat yg sama pelaku di sektor manufaktur diharapkan untuk mencapai TKDN (tingkat komponen dalam negeri). Jadi menyulitkan investor. Karena itu, kita perlu lebih serius membenahi masalah mismatch dan daya saing supply chain domestik ini,” kata Shinta.
TKDN merupakan aspek penentu rantai pasokan di dalam negeri yang pertanggungjawabannya diemban Kementerian Perindustrian. Seiring proyek investasi mobil listrik menjadi lini industri prioritas, pendampingan dan fasilitas untuk realisasi investasi dari pemerintah masih sangat diperlukan.
Selain itu, menurut Shinta, fasilitasi perizinan dari pemerintah perlu dilengkapi dengan pengawasan penerapannya di lapangan.
Pekerja Terampil Masih Terbatas
Shinta juga menilai, industri otomotif membutuhkan pekerja terampil dalam jumlah besar. Namun, jumlah dan mutu pekerja terampil masih sangat terbatas di Indonesia, khususnya untuk memenuhi permintaan lini indsutri otomotif.
“Sektor otomotif memerlukan tenaga kerja yang terampil atau skilled workers, apalagi EV (electric vehicle) tidak bisa hanya assembling karena banyak komponen berteknologi tinggi yang memerlukan pemrograman dan QC (quality control) ketat,” ujar Shinta.
Di sisi lain, upaya “impor” tenaga kerja asing masih sulit dan terhambat prasyarat beban regulasi bagi perusahaan. Nggak salah, Sob kalau selama ini sejumlah perusahaan manufaktur berteknologi tinggi enggan berinvestasi di Indonesia, meskipun tertarik.
Silang Sengkarut Urusan Tetek-Bengek
Selain itu, sebagaimana pengelolaan industri lainnya di Indonesia, pengembangan sektor usaha kendara masih banyak menghadapi problem menumpuk. Beberapa yang masih jadi pekerjaan rumah ialah birokrasi pengurusan sektor usaha manufaktur otomotif, kepastian akses suplai energi atau logistik, dan insentif investasi kerap sulit atau tidak bisa diklaim.
Akibatnya, penerapan niat baik jadi kerap surut karena ribetnya prasyarat usaha. Muncullah istilah bottleneck di tahap pelaksanaan, seperti halangan regulasi daerah yang belum konsisten, isu alih lahan, dan sebagainya.
Shinta menekankan, pemerintah perlu meningkatkan konsistensi reformasi iklim usaha dan investasi hingga ke tahap implementasi.
“Agar batu sandungan dalam realisasi investasi semakin berkurang, hingga sampai pada tataran ideal yang dijanjikan dalam regulasi,” ucapnya.
Waspada Dampak Tahun Politik
Di sisi lain, Apindo mewaspadai momen dimulainya musim politik jelang pemilu 2024. Secara historis, kontestasi politik biasanya berimbas politisasi kebijakan-kebijakan penting di bidang ekonomi. Hal ini turut berdampak terhadap kegiatan usaha eksisting maupun potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa depan.
Maka, jika tidak diantisipasi, pelaku dan iklim industri otomotif akan turut terpengaruh. Salah satu efeknya, perhitungan beban dan pengembalian nilai investasi lebih sulit terprediksi. Kondisi ini pun dapat membuat sebagian investor kerap ragu-ragu atau cenderung wait and see selama dan menjelang tahun politik.
Bagi Sobat pelaku usaha dan pembelajar industri, mudah-mudahan artikel ini membuka wawasanmu tentang dunia industri, ya.