Pernahkah Sobat mendengar kelompok khusus dalam masyarakat lokal Bugis di Sulawesi Selatan yang dinamai Bissu? Menurut keyakinan masyarakat Bugis di masa lampau, Bissu diartikan sebagai manusia suci yang merepresentasikan salah satu dari 5 identitas gender.
Uniknya, keberadaan Bissu masih bertahan hingga kini. Apa saja kelima karakter gender ini?
Dilansir Detik, ada representasi 5 identitas gender yang diakui dalam kelompok masyarakat Bugis kuno. Mereka ialah manusia suci laki-laki (oronai), perempuan (makkunrai), perempuan kelaki-lakian (calalai), laki-laki keperempuanan (calabai), dan Bissu.
Dirunut dari sejarah, Bissu yang juga dipandang sebagai para pemuka ajaran kepercayaan Bugis kuno itu lebih dahulu ada sebelum Islam masuk di bumi Ujungpandang pada abad ke-17. Mereka punya kepercayaan sendiri yang disebut To Riolo. Nah, di masa kerajaan praislamisasi, Bissu tidak pernah terpisahkan dalam setiap ritual-ritual besar yang disakralkan.
Bissu menanamkan kepercayaan bahwa ada dewa di langit dan laut yang melahirkan manusia. Kepercayaan ini terus diwariskan bahkan setelah raja-raja telah memeluk agama Islam. Eksistensi Bissu pun dihormati dan dianggap sebagai kelompok yang memahami protokoler kerajaan pada zaman lampau.
Nggak hanya itu, Sob, Bissu dianggap juga sebagai sosok suci yang dapat menghubungkan manusia dengan dewa.
Karakter Pembeda
Sharyn Graham Davies, antropolog di Monash University di Melbourne, Australia, menguraikan, Calalai dilahirkan dengan tubuh perempuan, tetapi secara tradisional mengambil peran gender laki-laki. Mereka bisa mengesankan laki-laki dalam keseharian pekerjaannya, seperti memakai kemeja dan celana panjang, merokok, dan berambut pendek.
Sementara itu, Calabai tidak menyamar sebagai perempuan, tetapi menunjukkan rangkaian perilaku feminin mereka sendiri yang akan disukai pada perempuan makkunrai. Beberpa bentuk perilaku ini antara lain mengenakan rok mini, merokok, dan menunjukkan sikap lahiriah dengan cara lebih seksual.
Dalam masyarakat Bugis, orang calabai dan calalai mungkin tidak disetujui di beberapa tempat, tetapi mereka ditoleransi secara luas, bahkan dianggap memainkan peran penting dalam masyarakat. Umumnya mereka pun tidak diserang atau dianiaya oleh komunitas mereka sendiri.
Gender Bugis kelima, yaitu bissu, yang dianggap bukan laki-laki atau perempuan tetapi mewakili keseluruhan spektrum gender.
Dengan penampakan yang berada di ruang abu-abu atau beririsan antaridentitas laki-laki dan perempuan, Bissu kerap mengalami perlakuan cukup diskriminatif. Bahkan sejarah kelam pun pernah dilalui para Bissu dalam berbagai peristiwa.
Mereka terancam dalam tragedi pembantaian kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Saat itu, sekira 1950-an, para Bissu menjadi target yang akan dibunuh.
Dengan sejumlah peristiwa besar yang mengancam keselamatan mereka, eksistensi Bissu ditopang oleh kemampuan atau keterdesakan untuk beradaptasi. Guru Besar Filologi Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Nurhayati Rahman menilai, perjalanan Bissu untuk masih bertahan hingga kini terbilang mengandung nilai perjuangan besar.
“Ada itu pemberontakan Islam. Di Aceh dipimpin oleh Daud Beureueh, di Jawa Barat Kartosuwiryo, di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakkar, tentara Islam yang mau mendirikan negara Islam,” tutur Nurhayati.
Pemberontakan DI/TII membuat para Bissu mau tidak mau segera memilih gender. Mereka seketika berubah wujud untuk bertahan hidup dari pemberontakan sosial kala itu.
“Karena orang Bugis kan cerdas begitu dia terancam jiwanya. Memang dibunuh kalau didapat, tapi sebelum dibunuh dia berubah wujud. Karena dia (Bissu) tahu baju begini harus pakai, segini macam bosara, protokoler kerajaan zaman dulu dia hapal,” ucapnya.
Setelah Orde Baru, para Bissu kembali terancam dalam Operasi Toba (Operasi Taubat) pada 1965. Kala itu Kahar Muzakkar ingin menghapuskan tindakan yang dilarang ajaran Islam atau disebut Revolusi Islam.
Belakangan, menurut Nurhayati, keberadaan Bissu ditentukan oleh perlakuan masyarakat sekitar. Bila dipandang tidak dibutuhkan, maka Bissu secara tidak langsung akan mengalami kepunahan dan bukan lagi sebagai produk kebudayaan.
“Populasi Bissu sekarang sisa sedikit. Di Segeri (Kabupaten Pangkep) barangkali tidak ada 20. Di Bone mungkin 10-an. Di tempat-tempat lain juga sedikit,” katanya.
Gimana menurutmu, Sobat? Kelompok kepercayaan lokal semacam di Bugis perlukah dilestarikan?